Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Kajian teoritis atas pratik “bad corprate management” pada Perumda Tirtanadi, sebagaimana halnya juga sudah menjadi tradisi pada seluruh Badan Uasaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, menunjukkan kebenaran asumsi tentang kuatnya pengaruh faktor historis sebagai bangsa bekas jajahan.
Sebagaimana diketahui, 6 bangsa pernah menjajah Nusantara, yakni Portugis (1509-1595), Belanda (1602-1942), Perancis (1806-1811), Inggris (1811-1816) dan Jepang (1942-1945). Semua penjajah itu secara sistematis membentuk dan memperkokoh mentalitas buruk kejongosan (jongos), yang dalam bahasa khas kolonial disebut inlander. Istilah inlander digunakan oleh penjajah untuk merujuk pada penduduk pribumi yang dianggap inferior dan tidak beradab, bersikap pasif, penurut, dan kurang inisiatif.
Mentalitas inlander sebagai salah satu warisan nilai paling buruk dari derita keterjajahan selama 350 tahun itu menyebabkan hampir seluruh elit bangsa dan aparaturnya gagal move on dari orientasi mencari peran menjadi sekadar komprador.
Bahkan komprador itu boleh dikatkan tetap dianggap sebagai cita-cita tertinggi dalam eskalasi sosial budaya dan politik meskipun Indonesia sudah merdeka hampir satu abad.
Pada dasarnya komprador itu adalah salah satu ekspresi terpenting dari mentalitas menerabas dalam pembangunan sebagaimana dijelaskan oleh Bapak antropologi Indonesia, Koentjaraningrat.
Mentalitas inlander, mental menerabas, cita-cita dan peran sebagai komprador itu meluas ke semua sektor dan juga generasi.
Penegak hukum pasti sangat tahu dimensi pidana dari setiap praktik buruk pengelolaan BUMN dan BUMD, yang di antara yang cukup menonjol iala hal-hal sebagai berikut:
- Lack of vision and strategy: Perusahaan tidak memiliki arah yang jelas untuk masa depan, sehingga menyebabkan pengambilan keputusan yang reaktif dan hilangnya peluang.
- Poor communication: Informasi tidak dibagikan secara efektif, sehingga menyebabkan kebingungan, frustrasi, dan ketidakpercayaan di antara karyawan.
- Micromanagement: Manajer, umumny, mengendalikan setiap detail pekerjaan karyawan, menghambat kreativitas dan inisiatif.
- High turnover: Karyawan merasa diremehkan, terlalu banyak bekerja, atau tidak didukung, sehingga menyebabkan mereka keluar untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
- Focus on short-term gains: Para pemimpin memprioritaskan keuntungan langsung dibandingkan keberlanjutan dan pertumbuhan jangka panjang.
- Lack of accountability: Tidak ada konsekuensi yang jelas atas kinerja buruk yang mengarah pada budaya biasa-biasa saja.
- Ethical lapses: Perusahaan melakukan praktik yang tidak jujur atau merugikan pemangku kepentingan.
- Inefficient processes: Tugas memakan waktu lebih lama dari yang diperlukan karena perencanaan yang buruk atau sistem yang ketinggalan jaman.
- Lack of innovation: Perusahaan gagal beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar atau mengeksplorasi ide-ide baru.
Tetapi karena di sana terdapt pemahaman dan kondisi yang sama, maka semua tetap merasa sudah on the track dalam bingkai inlanderitas itu.
Selama Indonesia terus gagal faham dasar filosofis pembentukan BUMN dan BUMD dan selama keadaan yang sekarang tetap dianggap ideal oleh mental inlander, keadaan tidak akan pernah bisa berbah. (*)
Tulisan ini adalah ulasan atas pemberitaan tentang reaksi DPRD Sumut yang berang melihat Perumda Tirtanadi yang bertahun-tahun tidak mampu menyelesaikan krisis air bersih di Sumatera Utara