Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Sekiranya ada jurnalis asing yang bertanya kepada Presiden Joko Widodo tentang potensi overlapping tugas kementerian di Indonesia, tentu saja ia akan menjawab “semua kementerian memiliki peran penting dalam pemerintahan dan bekerja untuk mendukung kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden,”
Ofcourse, Mr Presiden. Tetapi, lanjut jurnalis asing itu, jika misalnya Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) bertanggung jawab atas koordinasi dan administrasi kabinet, memastikan kelancaran pelaksanaan kebijakan pemerintah, menyusun dan mengoordinasikan kebijakan strategis, serta mengawasi administrasi negara dan hubungan antarlembaga, bagaimana pemborosan tidak terjadi karena Menteri Sekretaris Kabinet (Mensekkab) tentunya bertugas mengkoordinasikan kebijakan dan program kerja kabinet, menyusun agenda rapat kabinet, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan dan program prioritas?
Menteri Koordinator (Menko) menjadi koordinator sektor tertentu (misalnya ekonomi, pembangunan, sosial, politik), serta bertugas mengoordinasikan kebijakan dan program di sektor yang dikoordinasikan. Meski bukan menteri, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) juga dapat melampaui atau bekerja dalam urusan yang sama, meski secara naratif akan disebut bahwa KSP adalah lembaga khusus yang memberi dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam mengendalikan program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis; melakukan pengendalian dan memberikan dukungan percepatan pelaksanaan program prioritas nasional; serta bertanggung jawab atas pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi.
Ini terkesan kurang smart sama sekali. Smart Government mengacu pada penggunaan teknologi dan data untuk meningkatkan tata kelola, memperbaiki layanan publik, serta mempromosikan keterlibatan dan partisipasi warga. Konsep ini melibatkan integrasi alat digital dan solusi inovatif untuk membuat operasi pemerintahan lebih efisien dan transparan1. Ada tiga komponen utama yang memungkinkan gerakan “smart government” secara global, yakni ekosistem cerdas, konektivitas dan data cerdas, dan platform dan Keterlibatan Cerdas,
Indonesia memiliki beban masa lampau yang ibarat penyakit belum sembuh atau tak disembuhkan. Ketika Soekarno menunjuk ratusan Menteri, tentu ada alasan, terutama konsolidasi nasional dan fakta besaran masalah yang menantang sebuah negara baru.
Namun pada abad 21 kecanggihan iptek mestinya sudah dapat menggantikan urgensi lama yang didasarkan pada beban dan penyakit masa lalu itu.
Perbandingan jumlah Kementerian Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan di G20 juga menunjukkan Indonesia gagap membagi tugas pemerintahan secara teknokratis.
Karena itu keinginan untuk menambah jumlah Menteri untuk kabinet Prabowo-Gibran adalah anomali yang tak dapat lari dari beban masa lalu dan penyakit yang belum sembuh itu.
Dalam konstitusi memang ada penegasan tiga Menteri yang boleh disebut sebagai Menteri utama, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. Sebab ketiganya beroleh Amanah menjalankan kekuasaan pemerintahan jika Presiden dan Wakil berhalangan tetap. Jika hal ini akan dirubah harus melalui amandemen konstitusi.
Ada tuntutan rasionalisasi pembagian tugas pemerintahan dan efisiensi yang amat urgen untuk Indonesia. Karena itu urusan-urusan koodrinasi dapat disubordinasikan khusus kepada Wakil Presiden agar ia tak bermenung saja menonton Indonesia bergerak ke kiri, kanan atau jalan di tempat. Memang di seluruh dunia wakil presiden itu hanyalah ibarat ban serap belaka. Tapi begitu naifkah demokrasi, pinjaman dari peradaban Barat ini, yang mengajarkan cara aneh mendudukkan seseorang untuk menjabat sebagai wakil presiden yang boleh dikatakan hanya untuk berpangku tangan?
Sangat masuk akal Menko dan KSP dibubarkan. Antara Mensekkab dan dan Mensesneg dilakukan rasionalisasi, bukan perumusan ulang tugas pokok, melainkan penggabungan.
Namun ada desakan yang tak disadari oleh para elit, yakni kemajuan daerah dalam status yang disandang yakni otonomi. Daerah-daerah tak tersapa dengan baik. Tetapi hal ini jangan ditanyakan kepada elit nasional yang lazim, karena umumnya pikirannya hanya berkutat di sekitar Monas belaka.
Untuk “mengindonesiakan” semua wilayah eks jajahan Belanda ini dalam satu perasaan senasib dan sepenanggungan, justru yang amat dibutuhkan adalah deputi-deputi yang secara khusus mengurusan kemajuan daerah.
Dengan pertimbangan itu diperlukan 114 deputi, masing-masing 3 deputi untuk mengurus setiap provinsi. Ketiga deputi itu didudukkan di Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas.
Wakil menteri juga sangat tidak perlu, karena sesungguhnya yang diperlukan bukan simbol, melainkan tim kerja efektif berdasarkan keahlian teknokratis. Sebagai gantinya jabatan Direktur Jenderal yang harus diperbanyak pada setiap kementerian.
Pemerintahan hasil pemilu yang bekerja selama 5 tahun itu terasa amat singkat. Bisa saja ia terjebak dalam agenda 2-1-2, yakni dua tahun pertama belajar berwacana sambil mereview suasana rivalitas pemilu sembari konsolidasi tim kerja. Tahun ketiga baru mulai mengenal cara kerja yang tepat. Sayangnya dua tahun masa jabatan tersisa lazimnya akan ditumpahkan untuk urusan dan peluang reel;ected pada pemilu yang akan datang.
Tentu hal terakhir itu tak akan ditanyakan oleh jurnalis mana pun kepada Presiden Joko Widodo. (*)