Pada sesi kedua, Pembahasan berfokus pada bagaimana menuju industri fast fashion yang sehat. Dalam menciptakan industri fast fashion yang sehat berkaitan dengan bagaimana kesejahteraan pekerja dan kualitas jam kerja dapat dipertanggungjawabkan industri dalam pelaksanaannya. Kasus-kasus seperti ini memang terjadi pada industri garmen, namun jarang diketahui.
Sebagai salah satu solusi, forum juga mengungkapkan edukasi sejak dini sebagai upaya preventif yang diberikan kepada owner maupun para pekerja, sehingga konflik bisa diminimalisir. Point yang cukup menarik dalam pembahasan ini ialah, berkaitan dengan program CSR yang diberikan perusahaan.
Menurut Bhewarta, salah satu juri kompetisi Communication Awards mengungkapkan, Program CSR dianggap sebagai sebuah formalitas belaka. Hal ini disebabkan karena persentase yang diberikan sangat kecil. “Contohnya, Sri Teks yang menghasilkan kain berkualitas tinggi dan memperhatikan kesejahteraan pekerja, kalah oleh industri rumahan yang menggunakan bahan murah dan berbahaya”, tutur Bhewarta.
Selain itu forum juga menyatakan bahwa pemerintah berperan penting untuk hadir dalam menyelesaikan permasalahan regulasi agar berjalan dengan efektif. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah, owner bisnis, hingga masyarakat diperlukan agar tetap memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi para pekerja. Sehingga nantinya, industri ini tidak hanya menguntungkan satu pihak saja, namun diharapkan menguntungkan kedua belah pihak.
Dilanjutkan oleh Galih, Gubernur BEM Fisipol UMY dalam forum menyampaikan pentingnya peran dan gerakan yang dilakukan masyarakat sehingga mampu memberikan desakan kepada pihak terkait untuk memberikan kesejahteraan kepada para pekerja. Dengan demikian, sesi diskusi kedua ditutup dengan mengarahkan peran kolaborasi antara masyarakat, pemerintah dan owner garmen sebagai penggerak utama perubahan di sektor fast fashion. Dengan adanya kolaborasi tersebut, diharaplkan para pekerja industri fashion mampu mendapatkan perlindungan, termasuk upah yang layak dan lingkungan kerja yang aman.
Sesi ketiga sekaligus sebagai sesi terakhir membahas apakah fast fashion bisa diberhentikan melalui kebijakan atau komitmen yang sudah dibangun pada sesi diskusi sebelumnya. Forum beranggapan bahwa fast fashion merupakan sebuah trend yang terus berjalan, sementara kita sebagai konsumen harus memiliki kesadaran untuk mengurangi dampak fast fashion itu sendiri. Menurut Angki selaku peserta forum, fast fashion lahir ketika ada konsumen.
“Oleh karena itu kita sebagai konsumen harus bisa memilih dan memilah”, tutur Angki.
Pada dasarnya forum juga sepakat bahwa mereka tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan fast fashion, dan bagaimana caranya. Peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau konsumen ialah menanamkan edukasi sejak dini sebagai upaya preventif dan sehingga menciptakan kesadaran akan dampak dari fast fashion. Selain itu berkaitan dengan pemilihan produk, pendekatan slow fashion bisa menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif tersebut.
Sebagai penutup, Tombeng selaku moderator memberikan kesimpulan atas diskusi yang berjalan kurang lebih selama 120 menit tersebut. Fast Fashion memiliki dampak yang merugikan sehingga kita harus memilih dengan bijak guna menghindari dampaknya. Kesadaran akan dampak negatif fast fashion terhadap lingkungan dan sosial mengarahkan masyarakat dalam memilih dan menggunakan produk fashion dengan bijak.
“Dengan mempertimbangkan komponen yang digunakan, terutama dalam konteks fast fashion ini tidak hanya kuantitas yang penting, namun bahan yang digunakan juga”, tutur Tombeng sebelum menutup sesi diskusi. (*)