Gagasan relasi antara agama dan negara ala Ki Bagus Hadikusumo
Perdebatan Panjang mengenai hubungan agama dengan negara telah mengakar eksistensinya bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Tepatnya ketika para tokoh nasional dari kalangan nasionalis agamis hingga nasionalis sekularis berkumpul pada sidang BPUPKI untuk merumuskan dasar negara, yang kelak dasar tersebut menjadi pedoman etik dalam perancangan konstitusi negara secara umum.
Para tokoh dari kalangan nasionalis agamis antara lain: Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, K.H Abdul Kahar Muzakkar dan M.Natsir. sedangkan dari kalangan nasionalis netral agama antara lain: Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Muh Yamin, A.A Maramis dan lain-lain.
Kalangan Islam berkehendak Indonesia merdeka berasaskan persatuan solidaritas Masyarakat muslim yang merupakan mayoritas 90 % dari masyarakat Hindia Belanda. Sedangkan kalangan nasionalis bercita-cita Indonesia Merdeka atas asas persatuan yang dibangun dengan dasar cinta tanah air, konsekuensi dari masyarakatnya yang heterogen.
Dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo sangat gigih dalam memperjuangkan Islam agar dijadikannya sebagai dasar dalam merancang konstitusi negara. Beliau berpendapat bahwa cakupan ajaran Islam sangatlah universal yang tak luput dari segala lini, dan salah satunya adalah masalah kenegaraan. Ajaran Islam juga datang terlebih dahulu sebelum datangnya kolonial Belanda, dimana Islam sangat diterima dengan hangat di tengah masyarakat, dibuktikan dengan pesatnya perkembangan pemeluk ajaran ini hingga puncaknya mencapai 90 %. Bahkan sebagian membentuk sebuah Kerajaan Islam dengan menjalankan syari’at Islam. Lantas dapat disimpulkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari bernegara.
Ki Bagus juga menggagaskn bahwa umat islam merupakan umat yang memiliki cita cita yang luhur dari dulu hingga sekarang, Dimana mereka akan berusaha menegakan hukum Allah yang tak hanya Rahmat kepada kaumnya saja, namun juga rahmatan lil ‘alamin.
Gagasan Ki Bagus nampaknya berlandaskan pemahaman sosial-historiknya yang begitu kuat mengenai masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam telah masuk berabad abad lamanya, sehingga banyak ajaran serta syari’at nya yang telah bertransformasi menjadi hukum adat istiadat di banyak suku di Indonesia.
Ki bagus juga mengajak peserta sidang kembali menoleh ke sejarah pergerakan perlawanan Masyarakat Nusantara yang di nakhodai oleh para tokoh agamawan Islam seperti pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dimana semua perlawanan mereka berlandaskan seruan jihad melawan segala bentuk kezaliman yang terkandung dalam Al-qur’an. Kesemua hal diatas merupakan tata cara beragama masyarakat nusantara yang menuntun mereka dalam hidup bermasyarakat dan bersosial yang Kembali digagaskan oleh Ki Bagus Hadikusuma dalam sidang BPUPKI.
Kaum nasionalis tidaklah sepakat dengan gagasan Ki Bagus, mereka berpendapat bahwa agama dan negara harus berdiri secara terpisah. Sebab, apabila disatukan akan berkonsekuensi pada berdirinya negara yang bukan berlandaskan persatuan, dimana masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu terdiri dari berbagai pemeluk agama, dengan muslim sebagai mayoritas, serta pemeluk Protestan, Katolik, Hindu, Buda sebagai minoritas.
Memang benar agama Islam akan menjamin kepentingan agama lain, namun tentu golongan dari agama minoritas tersebut tidak dapat mempersatukan diri mereka dengan negara. Maka menurut Soepomo, salah satu tokoh nasionalis bahwa negara kesatuan yang diajukan oleh golongannya juga bukan berarti sebagai negara yang anti dengan agama. Namun, negara ini berdiri atas nilai kesatuan yaitu moral budi pekerti luhur yang terdapat disetiap agama, tak terkecuali Islam.
Dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo juga sedikit berdebat dengan Ir. Soekarno mengenai naskah preambul dari pembukaan Jakarta charter yang berbunyi “ dengan bedasarkan ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam hal ini Ki Bagus mengajukan penghapusan kalimat “ bagi pemeluk-pemeluknya” dengan argumen sebagai berikut :
Di dalam keterangan Tuan Syusa tadi hanya satu perkara yang kecil sekali yang akan saya minta dicabut atau dihilangkan. Saya menguatkan voorstel kiyai Sanusi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan dengan kewajiban umat Allah swt ”bagi pemeluk-pemeluknya’ adalah menurut keterangan Kiyai Sanusi tidak ada haknya dalam kata-kata Arab dan menambah janggalnya kata-kata. Jadi tidak ada artinya dan menambah kejanggalan, menambah perkataan yang kurang baik, menunjukkan pemecahan kita. Saya harap supaya ”bagi pemelukpemeluknya” itu dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan, dan pada prakteknya maksudnya sama saja. (Risalah Sidang . . . hlm. 241). Tentu disini Ki Bagus memiliki tujuan utama yaitu berdirinya syari’at Islam secara kaffah di Indonesia. Namun beliau menggunakan argumen diatas sebagai bentuk kecerdikan beliau dalam berdiplomasi.
Dalam hal ini, tentu Ir Soekarno menolak ajuan dari ki Bagus Hadikusumo, ia berpendapat bahwa naskah preambul yang dipermasalahkan merupakan hasil kompromi alot dari tokoh nasionalis agamis dan nasionalis sekularis pada sidang dihari sebelumnya. Maka perubahan naskah tersebut bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.
”Sudahlah, hasil kompromis di antara dua pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu perselisihan di antar dua pihak hilang. Tiap kompromis berdasarkan kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar pada memberi dan mengambil. Bahkan kemarin di dalam panitia soal ini ditinjau kembali sedalam-dalamnya, di antara lain sebagai tuan-tuan yang terhormat mengetahui, dengan Tuan Wachid Hasyim dan Agus Salim di antara anggota panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin ”Jakarta Charter” yang disertai perkataan tuan anggota yang terhormat Sukiman ”gentlement agreement” supaya ini dipegang teguh oleh pihak Islam dan pihak Kebangsaan. Saya mengharap kepada tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap panitia ini.” (Risalah Sidang …. hlm. 241.
Ki Bagus Hadikusumo tetap berkomitmen pada penghapusan kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya”. Beliau beranggapan bahwa bagaimana mungkin dalam suatu negara akan dibuat hukum yang berbeda-beda terhadap warga negara yang berbeda agama? Ki Bagus tetap menolak klausul tersebut walaupun merupakan hasil kompromi, karena baginya tidak masuk akal. Beliau Kembali menguatkan argumennya bahwa mayoritas Masyarakat Hindia Belanda merupakan penganut agama Islam. Dan Islam melalui surah al Baqarah ayat 208 menyeru penganutnya untuk menjalankan Islam secara kaffah. Dan diakhir beliau meyakinkan bahwa ajaran Islam juga akan menjamin hak-hak golongan selainnya.
Namun Dr Rjiman selaku ketua sidang tak ingin memperpanjang perdebatan dalam masalah preambul ini. Toh pada hari kemarin keseluruhan peserta sidang telah mufakat akan hal tersebut. Maka di akhir Ki Bagus dengan terpaksa menyetujui mengenai kesepakatan naskah preambule tersebut karna hasil kesepakatan bersama, meskipun secara pribadi beliau belum menyetujuinya.