Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Orang menyebut Prabowo dikroyok oleh Anies dan Ganjar. Benarkah? Di mana letak kekeliruan kesimpulan itu? Perhatikan beberapa hal berikut ini.
Pertama, untuk materi perdebatan yang dipilih pada putaran ketiga ini Prabowo memang harus menjadi “sasaran tembak.” Normanya harus begitu. Mengapa?
Kedua, dunia tahu Prabowolah yang menangani teknis pertahanan Indonesia saat ini karena menjabat sebagai menteri pertahanan sejak 4 tahun lalu. Selain memberi argumen baru dalam narasinya, Anies dan Ganjar berusaha memanfaatkan evaluasi publik yang tercantum dalam berbagai hasil kajian termasuk pemberitaan media. Misalnya tentang kebijakan, mekanisme dan biaya pembelian alutsista. Begitu juga program food estate yang terasa begitu aneh “ditempelkan” menjadi salah satu tugas Kementerian Pertahanan dan dengan hasil yang sangat mengecewakan.
Semua masalah yang disergahkan kepada Prabowo dalam debat itu sudah menjadi pengetahuan publik.
Ketiga, jika tak boleh menyasar rekam jejak orang yang bertanggung jawab atas urusan negara dalam bidang yang dijadwalkan sebagai materi debat putaran ketiga, debat tak perlu diselenggarakan.
Keempat, jika Anies yang hari ini menjadi Presiden atau Menteri Pertahanan Indonesia, hal yang sama akan dihadapinya. Begitu juga Ganjar.
Reaksi Prabowo lebih terasa emosional terhadap Anies dibanding Prabowo padahal kedua Capres lainnya sama-sama merontokkan harapan Prabowo untuk beroleh advantage electoral dari debat putaran ketiga ini. Mengapa?
Pertama, Capres pertama yang memulai perdebatan memang Anies dan itu bukan permintaan dia, melainkan tergantung mekanisme pengaturan penyelenggara. Hal-hal seperti pemberian skor 5 untuk kinerja Prabowo yang diberikan oleh Ganjar seakan tak begitu terasa lagi meskipun pernyataan itulah sebetulnya salah satu paling merontokkan yang dating dari kedua lawab debat Prabowo.
Ibarat dalam suasana sebuah perang, secara psikologis orang yang terlibat selalu akan mengenang siapa yang memberi tembakan pertama. Itu pemicu untuk kejadian-kejadian berikut meski dampaknya bisa jauh lebih besar. Tembakan dapat tak mengenai sasaran dan bahkan dapat sebagai pernyataan open fire start belaka. Itu akan tercatat secara kuat melebihi catatan-catatan tentang korban-korban yang berjatuhan setelahnya.
Kedua, rakyat ingat siapa yang mengawali narasi over confidence menang satu putaran. Prabowo mungkin telah dengan simplistik menerima kesimpulan yang diramu oleh para tim ahli di pihaknya. Meski mungkin awalnya hanya lebih dimaksudkan sebagai bentuk pschywar belaka, namun Prabowo malah terlanjur menerimanya kurang lebih setara doktrin tempur.
Dalam pschywar itu peta persaingan sudah dibentuk dengan prediksi posisi Prabowo head to head dengan Anies pada pilpres putaran kedua. Tentu saja peta ini tak diakui oleh Ganjar meski ia terus dirayu antara lain tak membalasnya sekeras yang dilakukan oleh Prabowo kepada Anies dalam debat ini. Namun, apa pun itu, bagi Anies, sebuah advantage potensi politik elektoral telah disumbangkan oleh para kompetitornya.
Ketiga, beberapa hari sebelum ini pemberitaan tentang inisiatif tim Ganjar bertemu tim Anies cukup mewarnai opini publik. Prabowo ternyata cukup terpengaruh dan karena itu berharap Ganjar tidak mengambil posisi netral apalagi memihak kepada Anies pada putaran kedua pilpres nanti. Saham psikhologis seperti itu dapat efektif dalam perkiraan siapa pun.
Menurut saya, itu yang menyebabkan Prabowo “tidak adil” memberi perlawanan kepada dua lawan debat yang mendowngrade melalui pembongkaran berbagai penyimpangan dalam kebijakan pertahanan di bawah kepemimpinannya sebagai Menteri Pertahanan.
Debat putaran ketiga belum merubah peta. True believer dan die hard ketiga pasangan tetap bertahan. Sedangkan kalangan yang hingga kini masih berstatus undecided voter tak menemukan ide besar dari debat.
Ada orang yang mengatakan bahwa Ganjar memiliki jiwa patriot dengan posisi seakan berada dalam hasrat menengahi silang pendapat yang keras yang membenturkan Prabowo dan Anies. Tetapi itu hanya memuaskan true believer dan die hard di kubu ganjar sendiri.
Kalangan yang masih berstatus undecided voter sama sekali tak tertarik cara yang secara kentara telah diulang-ulangi oleh Ganjar sejak debat putaran pertama. Itu diasosiasikan sebagai sebuah ketak-ksatriaan.
Memang untuk meraih peluang potensi insentif elektoral berbagai cara telah dilakukan orang dalam debat pilpres di Indonesia.
Dulu Joko Widodo pernah menggunakan istilah TPID untuk mempersulit Prabowo dalam debat pilpres. Prabowo memang kandas waktu itu. Gibran pun merasa akan beruntung dengan mengulanginya cara yang sama, yakni menggunakan istilah yang ia sendiri pun sebetulnya amat terkesan tak faham, yakni SGIE, untuk mempersulit Muhaimin dalam debat cawapres lalu.
Tetapi reaksi publik justru mendowngrade Gibran ke posisi kurang lebih sebagai nepo baby, yang mempertegas pengakuan atas status yang disematkan oleh media luar negeri kepada anak sulung Joko Widodo ini.
Ganjar tak menyadari itu tampaknya, dan jika ia masih akan mengulanginya ke depan, true believer dan die hard di pihaknya pun bisa merasa kurang nyaman.
Prabowo tampak hilang keseimbangan. Karena itu sekaligus mengalami kehilangan kesempatan emas untuk mengklarifikasi opini umum tentang kinerjanya khususnya tentang kebijakan, mekanisme dan biaya pembelian alutsista serta kegagalan program “tempelan” food estate. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU