TAJDID.ID~Jakarta || Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan suap. Henri diduga menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas tahun anggaran 2021-2023.
Penatapan Henri berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 11 orang di Jakarta dan Bekasi pada Selasa (25/7/2023). Namun, atas penetapan tersangka oleh KPK itu, Mabes TNI menyatakan keberatan.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengatakan, sekalipun mengajukan keberatan pada KPK, namun TNI harus mampu dalam waktu yang segera menunjukkan komitmen dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
“Meskipun mengajukan keberatan, pihak TNI harus bisa memastikan melakukan penegakan hukum dalam kasus OTT dan penetapan Kabasarnas sebagai tersangka ini,” ujar Azmi, Jum’at (29/7/2023).
Karena pelaku adalah berstatus anggota militer, menurut Azmi kalau ditelaah dari regulasi memang menjadi yurisdiksi dan kompetensi absolut Peradilan Militer dimana pelaku seharusnya diperiksa POM TNI .
Diketahui, penetapan Tsk ini oleh KPK kini telah menimbulkan pro kontra di ruang publik. Di satu sisi seolah KPK terhambat dalam upaya pemberantasan korupsi bila menghadapi tindak pidana korupsi dilakukan oleh anggota TNI, bahkan sekalipun OTT.
Karenanya, kata Azmi, sekat batasan regulasi ini perlu direvisi, termasuk diperlukan kesepahaman serta koordinasi supervisi antara KPK dan POM TNI yang lebih konkrit dan dapat dioperasionalkan, yang semestinya masing masing lembaga wajib fokus pada tujuan kepentingan nasional termasuk menjaga tujuan Undang undang tindak pidana korupsi, serta melihat karakteristik perbuatan pelaku yang dilakukannya nyata menyalahgunakan jabatan dan merugikan keuangan negara sehingga mengenyampingkan ego sektoral.
“Lagi- lagi karena ada ketentuan khusus dan limitatif kompetensi payung hukumnya yang melekat bagi prajurit aktif wajib diproses secara militer, yaitu mekanisme peradilan bagi prajurit ini diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militet termasuk Undang undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,”ujar Azmi.
“Dalam regulasi ini diatur adapun Pejabat yang memiliki wewenang khusus dalam menyelidiki kasus yang melibatkan prajurit adalah Ankum (atasan yang berhak menghukum), Polisi Militer, dan/atau Oditur Militer,” imbuhnya.
Jadi sepanjang tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang berstatus prajurit anggota TNI, kata Azmi, tentu tetap diadili di peradilan militer termasuk penyidikannya.
“Sebab KPK dibatasi hanya dapat menyidik orang-orang yang tunduk dalam peradilan umum. Dasar hukum inilah dalam tataran operasional jadi hambatan untuk proses pertanggungjawaban pidana bagi anggota militer,” pungkasnya. (*)