TAJDID.ID~Blitar || Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, level Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di sebuah kota/kabupaten mungkin selevel dengan walikota maupun bupati.
“Akan tetapi yang membedakan dari kedua pejabat ini adalah tunggangan dan tunjangannya,” Guru Besar Bidang Pendidikan Islam ini dalam acara Pengukuhan PDM, PDA dan IMM Cabang Blitar, Sabtu (3/6).
Selain itu, lanjut Mu’ti, yang membedakan antara ketua PDM dengan Walikota/Bupati adalah sistem kepemimpinan. Dijelaskannya, di Muhammadiyah yang berlaku adalah sistem kolektif kolegial, artinya kepemimpinan terletak pada sistem bukan sinten atau siapa ‘tokoh’.
Kelebihan dari sistem ini adalah sebuah organisasi tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya meski pimpinan atau ketuanya tidak ada di tempat,” sebut Mu’ti. dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Mu’ti menuturkan, pada 2017 ketika dirinya, Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Siti Noordjannah Djohantini (Ketua Umum PP ‘Aisyiyah), dan almarhum Suyatno (Bendahara Umum PP Muhammadiyah) berangkat haji bersamaan, roda kepengurusan PP Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah masih bisa berputar sebagaimana mestinya, tidak ada ketakutan akan kudeta terhadap kepemimpinan di Muhammadiyah.
“Tapi tetap aman-aman saja, walaupun ketua umum haji, sekretaris umum haji, bendahara umum haji organisasi tetap berjalan, organisasi masih tetap bisa dikelola sebagaimana mestinya. Karena kita mengembangkan sistem kepemimpinan kolektif kolegial,” ungkap Abdul Mu’ti.
Termasuk ketika terjadi pengambilan keputusan, jabatan ketua umum, sekretaris umum dan bendahara umum harus mengikuti keputusan bersama yang ditentukan oleh quorum dalam permusyawaratan atau rapat. Pada posisi tersebut, pimpinan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai yang ‘paling’ dibandingkan lainnya, sebab pimpinan atau ketua harus bisa menjadi makmum atau followers.
“Sehingga saat ini followership itulah yang saat ini agak sulit, terutama dalam kehidupan kebangsaan kita ini. Orang itu lebih siap tampil menjadi yang terdepan, tetapi tidak siap tampil untuk dipimpin oleh yang lainnya itu. Dan inilah yang saya rasa menjadi tantangan dalam kepemimpinan nasional kita sekarang ini,” imbuhnya.
Hemat Mu’ti, kenyataan kepemimpinan dalam konteks kebangsaan memiliki perbedaan dengan kondisi atau realitas kepemimpinan yang ada di Muhammadiyah. Pasalnya, di Muhammadiyah orangnya lebih tidak bersedia mengajukan diri sebagai pimpinan atau ketua, bahkan saling mendorong yang lain untuk menjadi ketua.
Dia menekankan, dalam konteks kepemimpinan nasional seseorang harus bisa menempatkan diri untuk siap dipimpin, bukan hanya mau memimpin. (*)