TAJDID.ID~Medan || Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik patut segera disosialisasikan dan dilaksanakan layanan e-court kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam upaya peningkatan dan modernasisasi pelayanan administrasi di semua lingkungan peradilan.
“Sebab sejak terbitnya Perma 7/2022 masih banyak lembaga peradilan yang belum melakukan sosialisasi dan menerapkannya kepada pencari keadilan. Proses dan biaya administrasi yang sepatutnya lebih terjangkau justru masih belum beranjak dari sebelumnya terbitnya Perma 7/2022 tersebut,” ujar Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, Senin (29/5/2023).
“Padahal sebagai sebuah kebijakan bagi lembaga peradilan tidak ada alasan atau dalil yang dapat digunakan untuk menunda atau terkesan menghindar, misalnya dengan berdalilkan sistem Pengadilan Secara Elektronik e-court error. Banyak informasi pendaftaran perkara oleh para pencari keadilan ditolak secara elektronika (e-court) dan pendaftar wajib datang langsung ke pengadilan untuk informasi lebih lanjut,” imbuhnya.
Anehnya, pendaftaran perkara dinyatakan berhasil jika dilakukan secara manual, tetapi dengan biaya di luar yang dimaksudkan Perma 7/2022. Karena itu, kata Farid Wajdi, pimpinan lembaga dan jajarannya, harus segera melaksanakannya. Kepada pimpinan Pengadilan Tinggi untuk dapat melakukan monitoring dan evaluasi penerapan kebijakan Perma 7/2022 itu.
Farid Wajdi menjelaskan, secara asas hukum penerapan administrasi perkara di Pengadilan Secara Elektronik (e-Court)/dikenal dengan E-Litigasi adalah untuk mempermudah dan mengefektifkan pemeriksaan perkara yang ada di Pengadilan, khususnya perkara perdata.
Asas peraturan ini tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. “Ayat (2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 di atas menjadi norma dasar dan cara pandang Perma Nomor 7/2022. Pelayanan secara elektronik diharapkan dapat mewujudkan peradilan yang imparsial (tidak memihak), sederhana, cepat dan biaya ringan, sesuai dengan amanah Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
“Secara substansi ruang lingkup dari Perma 7/2022 meliputi beberapa hal, yaitu administrasi dan persidangan secara elektronik, upaya hukum secara elektronik (terdiri dari upaya hukum keberatan dan upaya hukum verzet) serta tata cara penggunaan dari e-litigasi dan e-court yang meliputi e-filling pendaftaran, e-payment pembayaran, e-summons pemanggilan, dan e-litigasi persidangan dan upaya hukum,” terangnya.
Selain itu, lanjut Farid, Perma 7/2022 mengatur beberapa aspek perubahan dalam sistem persidangan elektronik. Perubahan tersebut mendorong terlaksananya persidangan elektronik lebih luas dan dalam kondisi apapun, termasuk tergugat yang tidak menyatakan persetujuan persidangan elektronik dan/atau berada di luar negeri.
Tergugat yang “tidak mau” melaksanakan persidangan secara elektronik tetap mengikuti prosedur manual tanpa kehilangan hak untuk membela kepentingannya. Pengadilan tidak memaksanya untuk mengikuti persidangan secara elektronik. Pengadilan menjembatani proses manual dengan melakukan digitalisasi dokumen dan meng-input-nya dalam Sistem Informasi Perkara Pengadilan (SIPP) sehingga dapat diakses oleh Penggugat. Sebaliknya, dokumen Penggugat yang tersaji elektronik diunduh oleh petugas pengadilan dan menyampaikannya secara langsung kepada Tergugat.
Farid Wajdi menegaskan, proses modernisasi dilakukan secara menyeluruh. Salah satunya dengan berlakunya e-litigation atau persidangan elektronik. Terkait persidangan elektronik, pada tahun 2022, lembaga peradilan mengubah model panggilan dan pemberitahuan dalam menangani perkara. Dalam hal suatu perkara didaftarkan secara elektronik, panggilan dan pemberitahuannya dilakukan melalui surat tercatat.
Dengan demikian, kata Farid, seluruh perkara yang didaftarkan secara elektronik proses penyampaian panggilan dan pemberitahuannya tidak lagi dilakukan oleh jurusita pengadilan secara langsung, melainkan melalui media surat tercatat.
“Perubahan cara penyampaian ini adalah hal yang baru dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dalam hukum acara perdata dan patut diapresisasi. Sebab kebijakan tersebut adalah arah baru peradilan elektronik pasca-terbitnya Perma 7/2022,” pungkasnya. (*)