Dalam urusan hilir ini Muhammadiyah mungkin akan memulai pendataan kekuatannya sendiri (sebagai komunitas pemilih). Kemudian mencocokkan potensi itu dengan obsesi kader persyarikatan yang ingin beroleh dukungan untuk diseberangkan ke lembaga legislatif.
Jika ini diibaratkan membagi gudeg sepanci, tentulah secara pasti dapat dilakukan dengan penuh keadilan dan menghasilkan kepuasan pada semua pihak yang berbagi.
Akan banyak opsi sulit menjelma di hadapan. Lima kader berebut suara terbatas pada satu daerah pemilihan. Membaginya secara merata, selain sulit mendiktekan sikap itu kepada seluruh warga, juga dapat menghasilkan sebuah perasaan keadilan yang tak bermanfaat manakala suara yang dibagi itu sebetulnya tidak berkecukupan untuk menghasilkan satu kursi. Ahmad dari partai A dan Hamidah dari partai B dalam rivalitas sengit dengan kader persyarikatan lainnya dari partai yang berbeda [Muwahhid (partai C), Riyadhah (partai D), Imtihan (partai E), dan seterusnya) tentulah sama-sama mempunyai kelebihan sekaligus kelemahan.
Tetapi bisakah ditawarkan kepada mereka survei atau bahkan pemilu internal untuk penentuan tendensi dukungan agar kelak dipedomani untuk memutuskan satu calon paling potensil meraih kemenangan daripada tak seorang kader dapat berhasil jika distribusi dibiarkan merata sambil berharap para caleg itu berinisiatif mencari tambahan suara agar semua kader sama-sama terorbit?
Memang indah dalam teori untuk melibatkan mobilisasi seluruh jaringan persyarikatan untuk mencari suara ke dalam dan keluar agar semua kader yang berkompetisi sama-sama berhasil beroleh suara yang cukup untuk kursi legislatif.
Tetapi jika itu yang terjadi, Muhammadiyah telah naik kelas mengambil tugas-tugas yang jauh lebih besar dari totalitas tugas yang pernah dikenal oleh partai politik mana pun.
Salah satu keputusan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah ialah menginventarisasi nama-nama kader persyarikatan yang telah menyatakan diri sebagai caleg dan syukur jika sudah terdaftar di KPU melalui partainya. Ternyata tak mudah.
Bahwa setelah melakukan pembicaraan dan atau pertemuan informal dengan berbagai pihak, di antaranya PW Muhammadiyah Sumatera Utara (konsultasi kebijakan), beberapa sample dari PD Muhammadiyah se-Sumatera Utara (teknis pendataan), beberapa sample dari Pimpinan Parpol tingkat Sumatera Utara (teknis pendataan), dan; Ketua KPU Sumatera Utara (teknis pendataan), maka diperoleh beberapa kesimpulan yang menggambarkan tingkat kesulitan untuk melakukan pendataan, yakni sebagai berikut:
Pertama, PD Muhammadiyah mengenal semua aktivis politik “lama” (paling tidak yang telah berkiprah selama satu periode pemilu) dan sebagian aktivis baru. Tetapi mereka belum memiliki cara untuk memperoleh kepastian sesiapa di antara kader itu yang akan mendaftar pada tahun 2024. Mereka juga tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah seseorang masih akan tetap setia bersama partainya atau pindah ke partai lain.
Kedua, Hingga hari ini parpol cenderung masih bersikap “defensif” dengan dalih bahwa yang mereka laporkan saat ini ke KPU barulah dokumen berstatus Daftar Calon Sementara”.
Beberapa kasus dapat dikemukakan untuk memperkuat fakta tingkat kesulitan pembuatan daftar yang diperlukan, yakni:
Jika misalnya disebut nama seseorang kader yang aktif pada partai tertentu maka pimpinan parpol yang ditemui selalu memberi jawaban bersifat normatif (misalnya “pastilah dicalonkan. Tapi kita lihatlah dalam waktu dekat”).
Beberapa waktu lalu seorang kader persyarikatan yang pernah ikut dalam kepengurusan Majelis menyatakan optimismenya untuk dicalonkan sebagai caleg no 1 dari dapil pilihannya. Dasar optimismenya adalah fakta penugasan partainya dalam jabatan strategis Bappilu 2024. Untuk sementara baiklah optimisme itu dipercaya. Tetapi siapa yang tak merasa tetap perlu waswas apakah “titah” dari “pemilik” partai oligarkis yang bersinggasana di Jakarta merestuinya nanti?