Pada abad ke-10 dan 11, pemeriksaan sebelumnya terhadap astronomi ptolemeus membawa kepada proyek-proyek sistematis yang, alih-alih membahas bidang astronomi dalam keseluruhannya, justru berfokus pada aspek-aspek spesifik astronomi. Salah satu ciri utama periode ini adalah kecenderungan untuk menghasilkan karya-karya sintesis yang tuntas mengenai topik-topik khusus astronomi, yang berpuncak pada karya Al-Biruni 9973-sekitar 1048), Al-Qanun Al-Masud, sebuah sintesis dari tradisi-tradisi astronomi Yunani, india, dan Arab. Pada Al-Birunilah kita menemukan pembahasan sistematis yang pertama kalinya, oleh seorang saintis (astronom), mengenai hubungan antara sains dan filsafat. Sebuah buku berjudul Al-As’ilah wa Al-Ajwibah (pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban) melestarikan pertukaran pikiran antara Al-Biruni dan tokoh semasanya, Ibn Sina, filosof Muslim yang paling terkenal sepanjang zaman. Al-Biruni menyuguhkan kepad Ibn Sina serangkain persoalan di mana dia mengkritik teori fisika Aristoteles, khususnya yang berkenaan dengan astronomi. Ibn Sina kemudian menanggapinya, dan terjadilah perdebatan yang hidup.
Dalam pertukaran pikiran ini, Al-Biruni mempertanyakan hampir semua aksioma fundamental fisika Aristoteles: dia menolak gagasan bahwa benda-benda langit memiliki sifat yang inheren, dan menegaskan bahwa gerakan mereka bisa saja bersifat terpaksa; dia berpendapat bahwa tidak ada bukti yang bisa diamati yang mengesampingkan kemungkinan adanya kevakuman, lebih jauh dia menegaskan bahwa, meskipun pengamatan menguatkan klaim Aristoteles bahwa gerakan benda-benda langit bersifat melingkar, tidak ada alasan “alamiah” yang inheren mengapa gerakan tersebut tidak mungkin bersifat lonjong.
Apa yang lebih signifikan daripada keberatan-keberatan aktual yang dikemukakan Al-Biruni adalah argumen yang digunakannya dalam perdebatan tersebut. Al-Biruni menarik perbedaan antara profesinya dan profesi Aristoteles dan Ibn Sina. Tampaknya dia beragumen bahwa aksioma-aksioma metafisik yang di atasnya para filosof membangun teori-teori fisika mereka tidaklah merupakan bukti yang sahih bagi seorang astronom matematis. Dengan perkataan lain, Al-Biruni dengan jelas membedakan antara filosof dan matematikawan, metafisikawan dan saintis. Dia memandang dirinya sebagai astronom matematis dan baginya, satu-satunya bukti yang sahih adalah bukti yang bersifat obsevasional dan matematis.
Contoh kasus Al-Biruni menjelaskan bagaimana penerapan sistematis dari penalaran matematis yang tepat dan teliti membawa kepada matematisasi astronomi dan, dengan perluasan, kepada matematisasi alam. Alih-alih mengolongkan berbagai sains dalam payung filsafat yang meliputi segala sains, banyak saintis memandang profesi mereka sebagai usaha matematis yang otonom, yang terpisah dari dan setara dengan filsafat.
Seperti telah saya katakan sebelumnya, ptolemeus telah bertindak bebas mengusulkan model-model yang tidak sesuai dengan kosmologi Aristoteles; jadi bagaimana kasus Al-Biruni berbeda dengan kasus Ptolemeus? Dinyatakan secara berbeda, dapatkah kita memikirkan ptolemeus dan Al-Biruni sebagai propotipe bagi saintis-saintis yang berminat dalam fungsi-fungsi deskriptif sains, dalam “ , menyelamatkan fenomena”, berlawanan dengan saintis-saintis yang berusaha menjelaskan dan tidak sekadar menggambarkan? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dnegan membandingkan dua tradisis reformasi astronomi di timur dan barat Muslim.