Perbedaan di kalangan sarjana keagamaan tradisional ini menyulitkan upaya untuk mengindentifkasi sikap Islam tradisional yang terpadu terhadap sains. Namun, secara keseluruhan, perdebatan tentang pengetahuan saintifik itu mengarah kepada konsensus untuk menaturalisasikan sebagian dari sains-sains eksakta dan memberikan justifikasi islami terhadap jenis pengetahuan ilmiah tertentu. Sejarahwan masyhur abad ke-14, Ibn Khaldun, mengatakan dalam Muqaddimahnya bahwa sesudah era Al-Ghazali, semua ulama mempelajari logika, tetapi mereka mempelajarinya dair sumber-sumber yang baru, seperti karya-karya Ibn Al-Khathib dan Al-Khunji (abad ke-13), dan mereka tidka lagi mengunakan kitab-kitab para pengarang zaman kuno; “kitab-kitab dan metode-metode kaum kuno”, kata Ibn Khaldun, ‘jauhi, seolah-olah mereka tidak pernah ada’. Dia menambahkan (dihalaman 143):
Haruslah diketahui bahwa kaum Muslim awal dan para teolog spekulatif awal sangat tidak menyetujui pengkajian disiplin ini [logika]. Mereka dengan keras menyerangnya dan memperingatkan umat untuk mewaspadainya….Belakangan, sejak Al-Ghazali dan imam Ibn Al-Khathib, para ulama telah bersikap agak lunak dalam hal ini. Sejak saat itu, mereka terus mempelajari [logika].
Karena itu, secara umum pengakuan religius terhadap nilai epistemik berbagai jenis pengetahuan ilmiah sangat bernuansa dan beragam. Meskipun kita tidak dapat menunjukkan korelasi yang langsung dan mekanis antara argumen keagaman dan cara kum saintis memersepsi dan berteori tentang disiplin ilmiah mereka, sangat jelas bahwa pandangan para saintis juga banyak dan beragam.
Lebih jauh, karena mereka diilhami oleh beragam faktor budaya, artikulasi para saintis ini merupakan ungkapan-ungkapan yang jelas dan menonjoal tentang apa arti sains “Islam” dalam sejarah yang aktual, dan menunjukkan dimensi-dimensi Islam sebagaimana halnya pandangan-pandangan yang diungkapkan para ulama. Dalam uraian selanjutnya, saya akan mendekati persoalan hubungan sains-agama dengan memusatkan perhatian pada dua tradisi astronomi, di timur Muslim dan di Barat Muslim. Tujuan saya adalah membuat denah tentang mode pemikiran khusus yang menciptakan kondisi epistemologi dan metodologis bagi pembentukan kedua tradisi ini, serta beragam kerangka konseptual yang mengilhami teori-teori yang berbeda tentang planet yang diusulkan dalam tiap-tiap tradisi.
Sejak Sarton berupaya menuliskan sejarah-universal sains, sains Islam telah banyak ditunjukkan dalam berbagai narasi sejarah ini. Meskipun telah banyak diakui, sains islam masih berlaku sering absen dari narasi-narasi besar dan intergratif mengenai sejarah sains. Ketika para sejarahwan menawarkan analisis konseptual terhadap perubahan dalam sejarah sains yang merupakan hal yang sering mereka lakukan warisan kumulatif sains islam dilewatkan begitu saja.
Secara konseptual, warisan sains islam dilihat lebih sebagai kelanjutan mekanis dari warisan sains Yunani: sains islam memperluas dan menyempurnakan sains Yunani tanpa modifikasi secara konseptual. Justifikasi atas pengabaian dan ketidakcermatan ini jarang diberikan, tetapi manakala ia diberikan, biasanya justifikasi tersebut berkaitan dengan peran filsafat atau teori dalam sains. Khususnya di bidang astronomi, pertimbangan teoretis sering diabaikan berdasarkan asumsi umum bahwa sains islam bersifat praktis dan karenanya secara teoretis atau filosofis dangkal. Kemunduran sains Islam, menurut pandangan ini, adalah akibat kurangnya semangat teorertis.
Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, sebuah pandangan alternatif telah dikemukakan, sering oleh para sejarahwan sains yang kompeten. Berlawanan dengan gagasan bahwa sains islam merosot disebabkan kerapuhan fondasi filosofisnya, para sejarahwan astronomi sekarang beragumen bahwa motivasi dalam tradisi terpenting reformasi astronomi di dunia Muslim bersifat filosofis. Meskipun terdapat pemahaman yang berbeda tentang peran filsafat dalam kaitannya dengan astronomi, tesis ini sering merongrong nilai “saintifik” reformasi astronomis ini.
Kedua padangan yang berbeda tentang peran filsafat dalam sains Islam ini mewakili perbedatan fundamental mengenai fungsi teori saintif. Ringkasnya, para santis dan filosof (dan juga sejarahwan sains) berbeda pendapat tentang apakah peran utama teori saintifk adalah menjelaskan alam sebagaimana ia eksis dalam realitasnya ataukah sekadar mendeskripsikan dan memprediksi gejala yang kita lihat. Dalam kasus yang disebut terakhir ini (deskripsi dan oprediksi), perhatian utama sains adalah untuk “menyelamatkan fenomena”, sedangkan dalam kasus yang disebut pertama, sains melangkah ke luar melampaui gejala yang tampak, untuk menjelajahi hubungan kausal atau, dalam bahasa kaum filosof, “sebab-sebab pertama”.
Kontroversi filosofis ini, dengan pelbagai banyak variasinya, merupakan akar kemunculan apa yang umumnya disebut “ sains modern”, dan ia terus melahirkan perdebatan modern dan posmodern tentang hubungan antara pengetahuan ilmiah dan bentuk pengetahuan yang lain. Kontroversi ini juga memengaruhi pembacaan atas sejarah sains “non Barat”. Sebelum memeriksa persoalan peran teori dalam sains sebagaimana tercemin dalam dua tradisi islam dalam reformasi astronomi, perlu dikemukakan sepatah kata tentang perkembangan awal dalam astronoomi Islam yang memberikan latar belakang bagi tradisi-tradisi reformasi yang belakangan.