Dalam ketiadaan penejelasan-penjelasan yang saksama dan menyeluruh mengenai perkembangan dalam berbagai disiplin keilmuan serta penjelasan mengenai fondasi epistemologis sains-sains ini, dapatlah dimaklumi jika upaya untuk memetakan ciri-ciri umum sains di masyarakat Muslim dan kaitannya dengan agama hanya bersifat terbatas dan memerlukan pengkajian yang lebih cermat. Bahkan pemetaan yang tegas mengenai kegiatan ilmiah di masyarakat Muslim sebagai bersifat islami ataupun kearban tidaklah bisa diterimah begitu saja. Han yang sama berlaku bagi penegasan bahwa Islam tidak memiliki sikap yang positif ataupun yang negatif terhadap sains. Di sini saya tidak bermaksud menginkari kesahihan penggunaan istilah seperti “sains Islam”, tetapi hendal menekankan pentingnya membahas persoalan metodologi sebelum memberikan pemetaan umum seperti itu.
Disebabkan luasnya lingkup kegiatan ilmiah dimasyarakat Muslim klasik, persoalan hubungan sains-agama dalam Islam bisa didekati dari pelbagai perspektif, dan bisa bervariasi menurut wilayah, masa, atau disiplin yang dibahas. Sebagai contoh, kita bisa melihat bahasan standar di kalangan sarjana keagamaan dan teologi. Alternatif lain: klasifikasi sains memberikan perspektif epistemologis yang berkaitan dengan teori-teori pengetahuan. Kita juga bisa memeriksan dan berupaya mengkalsifikasikan pelbagai pandangan yang banyak dan beragam dari para saintis maupun ulama tentang hubungan sains-agama. Dalam esai ini, saya membatasi diri dari bidang astronomi; khususnya dua kecenderungan penting dalam astonomi teoritis.
Perlu saya tambahkan bahwa astronomi sangat relevan dengan persoalan hubungan sains-agama disebabkan dimensi kosmologisnya dan kasus-kasus di dalamnya dapat mewakili persoalan metafisika. Fokus utama dalam makalah ini adalah bagaimana komunitas pengetahuan ilmiah memandang profesi dan penelitian mereka dalam konteks umum keagamaan. Akan tetapi, terlebih dahulu saya akan mengulas sedikit tentang para ulama yang membahas sains dan mengusulkan penisbahan sifat “islami” kepada sains.
Pemebahasan mengenai sikap Islam terhadap sains hampir selalu menyebut-nyebut karya Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Saya tidak akan berupaya meringkaskan pandangan Al-Ghazali mengenai sains. Pandangan Al-Ghazali tentang masalah ini memperoleh perhatian kesarjanaan yang lebih banyak dari pada pandangan sarjana Muslim lain mana pun yang menulis tentang sikap Islam terhadap sains.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa perdebatan mengenai sikap dan pandangan Al-Ghazali terus berlanjut dikalangan sarjana kontemporer, dan tampaknya tidak ada konsesus bahkan mengenai penafsiran atas karyanya yang paling jelas, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof), apa lagi suatu pemerikasaan menyeluruh yang terintegrasi terhadap seluruh karyannya, termasuk karya-karya yang relevan dengan pokok persoalan kita seperti Al-Iqtishad fi Al-l’tiqad Al-llm, Al-Qusthas Al-Mustaqim, Maqasid Al-Falasifah, dan Al-Mustasfa min llm Al-Ushul.
Terlepas dari apakah Al-Ghazali betul-betul merestui, mengabaikan , atau menetang sains, secara pasti ada kalangan tradisonalis, seperti Ibn Tamiyyah (w. 1328), yang menyerang beberapa bidang ilmu pengetahuan yang direstui oleh Al-Ghazali. Namun, ada juga kalangan tradisionalis yang sama radikal dan populernya, semisal Ibn Hazm (abad ke-11), yang membela logika dan membela saling keterkaitan di antara bidang-bidang sains. Yang perlu diperhatikan mengenai tulisan-tulisan provokatif Ibn Tarmiyyah yang diberi judul “penolakan terhadap logika” dan “serangan terhadap kaum Logikawan” adalah bahwa Ibn Tarmiyyah mempergunakan wacana logika formal alih-alih menginkari kesahihan logika.
Namun, dia mengingkari klaim yang diajukan oleh sekelompok logikawan yang mengatakan bahwa mereka memiliki monopoli ekslusif atas metode untuk sampai kepada kebenaran. Di samping itu, Ibn tarmiyyah juga mempertanyakan kesahihan sebagian dari proposisi dan silogisme dari jenis logika formal tertentu, buka semua jenis logika. Lebih jauh, Ibn Tarmiyyah mengkritik pengingkaran Al-Ghazali terhadap kausalitas dan merupakan sesorang yang sangat percaya pada fisika dan hukum alam. Sekali lagi, tujuan pengutipan tokoh-tokoh ini bukanlah untuk menyuguhkan analisis yang tuntas mengenai pandangan-pandangan mereka, melainkan hanya menunjukkan pluraritas dan kompelsitas pandangan sarjana-sarjana Muslim tradisional tentang sains dan ilmu pengetahuan ilmiah.