Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jauh di luar kesadaran para elit Indonesia, sebetulnya rakyat sudah lama tahu bahwa pemilu yang menjadi salah satu indikator demokrasi itu identik dengan keterbukaan dan kebebasan. Rakyat ingin menikmati itu selamanya dan tumbuh sebagai budaya demokrasi yang kuat.
Rakyat juga sudah lama tahu bahwa merubah sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup adalah pemangkasan brutal atas kadar keterbukaan dan kebebasan yang menginformasikan secara gamblang kemunduran demokrasi. Rakyat frustrasi.
Memang, sesuai dengan situasi politik belakangan ini yang cenderung semakin ketat atau bahkan represif, rakyat juga faham bahwa memprotes pengkhianatan atas demokrasi seperti ini dapat berisiko. Karena itu mereka memilih diam.
Tetapi nanti mereka akan mengekspresikan sikap itu dalam bentuk penurunan partisipasi dalam pemilu, sebagaimana sudah terjadi selama ini baik secara nasional maupun lokal.
Penyelenggara pemilu Indonesia (KPU dan Bawaslu) selalu terobsesi peningkatan partisipasi pemilu, dan mereka kewalahan tak dapat berbuat apa-apa karena rakyat menjauhi demokrasi.
Itulah sebabnya model partisipasi politik di Indonesia makin lama makin lebih identik dengan mobilisasi ketimbang kesadaran tindakan.
Namun elit politik Indonesia sesungguhnya tidak begitu hirau urusan apa pun di negeri ini selain pengabadian kekuasaan. Karena itu berkembangnya tradisi kuat transaksi politik dalam pemilu menjadi mainstream budaya politik pemilu.
Isyu tentang kualitas perwakilan politik Indonesia memang tidak terlepas dari kadar rendah integritas pemilu. Defisit demokrasi yang diakibatkannya bersumber dari tatakelola yang menekankan formalisme dan rutinisme belaka.
Akhirnya menjadi sah dan menjadi kelaziman yang kuat bahwa hasil pemilu seolah bukan hasil elektorasi, melainkan hasil manipulatif pemilu.
Usul terbaik hari ini untuk demokrasi Indonesia, antara lain:
- KPU harus diposisikan hanya sebagai salah satu komponen penyelenggara, karena kelompok intinya adalah parpol peserta pemilu. Itu agar pemilu berintegritas seperti pemilu 1955 dan 1999.
- Jumlah kursi legislatif harus ditambah hingga totalnya dua kali lipat dari jumlah yang sekarang, untuk semua level. Jumlah yang sekarang biarkan diperebutkan oleh parpol dengan caranya sendiri, dengan penentuan harga satu suara sesuai pasar. Selebihnya didistribusi tanpa pemilu kepada organisasi-organisasi jihadis pendiri negara seperti Muhammadiyah (1912), NU (1926) dan lain-lain, organisasi berintegritas dan organisasi profesi. Dengan begitu produk legislasi dan pengawasannya tak akan seburuk yang sekarang. Tak akan ada lagi produk legislasi deburuk UU Ciptakerja, Revisi UU KPK dan semisalnya.
Solusi ini juga memastikan legislator tak lagi menjadi budak oligarki dan tak takut lagi mengevaluasi dan mengoreksi eksekutif seperti kebancian yang kita saksikan sekarang.
Dari situ Indonesia bisa berharap bahwa nanti perjalanan pemerintahan dapat ditundukkan kepada citacita kemerdekaan, dan rezim tidak lagi menjadi budak oligarki. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut