Mengerti Politik
Masa kepemimpinan ND Pane hampir sama dengan masa kepemimpinan Ketua PP Muhammadiyah AR Fachruddin. Pada masa itu ada kesulitan politik sehubungan dengan keinginan pemerintah untuk mengasas-tunggalkan semua organisasi di Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan). Muhammadiyah seakan enggan bermuktamar karena ini yang akibatnya sedikit banyaknya terasa keadaan stagnasi.
Bukan cuma Muhammadiyah yang mendapat kesulitan menghadapi masalah ini. Bahkan dari dilema sulit ini tercatat di Medan terjadi demonstrasi terhadap Menteri Pemuda dan Olah Raga Abdul Gafur saat dilangsungkan Kongres HMI ke XV. Meskipun akhirnya organisasi mahasiswa Islam tertua ini memilih penyesuaian dengan UU keormasan, tetapi tak urung perpecahan internal yang parah termasuk munculnya Majlis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI. Tetapi berbeda dengan Muhammadiyah dan HMI, Pelajar Islam Indonesia (PII) memilih bergerilya dan bergerak di bawah tanah hingga orde baru tumbang.
Muhammadiyah termasuk kalangan terakhir dari kelompok Islam yang ditunggu oleh banyak orang dalam kaitannya tentang asas tunggal ini. Akhirnya diplomasi yang luar biasa alot dan dengan peran Lukman Harun tampaknya pemerintah dan Muhammadiyah dapat sefaham. Modusnya malah asas Pancasila dalam Muhammadiyah itu semakin dipertegas maksudnya tak lain kecuali tawhid. Itulah yang dilaporkan oleh Lukman Harun ke berbagai daerah untuk menenangkan seluruh warga. Bagi Muhammadiyah pengalaman serupa pernah terjadi bahkan sejak awal pendiriannya pada tahun 1912. Ketika Jepang berkuasa selama 3,5 tahun, kesulitan itu pun terjadi dan Muhammadiyah pun menyesuaikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga-nya sesuai kehendak penguasa.
Baca Juga: Mengenal HR Mohammad Said, Pendiri Muhammadiyah Sumatera Utara
Tahun 1982 Indonesia melaksanakan pemilu. Muhammadiyah bergeliat. Tokoh-tokoh politik melalui “kaki tangannya” yang ada di Muhammadiyah berusaha memperoleh dukungan. Di Sumatera Utara misi bolak-balik Gubernur Marah Halim tercatat mengalami kebuntuan. Waktu itu dijanjikan pembangunan kampus lengkap, dengan syarat Muhammadiyah Sumatera Utara menyatakan dukungan kepada salah satu di antara 3 kontenstan. ND Pane tidak mau, padahal waktu itu Gedung kampus UMSU terbengkalai sudah lama dan menyisakan “antena-antena” besi konstruksi ke udara.
Masih dalam kaitan dengan pemilu, suatu acara tahun 1982 yang dihadiri oleh banyak pengunjung diselenggarakan di Aula UMSU. Walikotamadya Medan waktu itu Kolonel Saleh Arifin hadir dan membawa bantuan uang dengan 6 nol di belakang nomor urut salah satu kontestan waktu itu. ND Pane tidak gembira dan tidak memberi sesuatu yang diharapkan. Para “kaki tangan” lesu.
Ketika akan diselenggarakan Musyawarah VII tahun 1991 di kampus UMTS Padangsidempuan, “kaki tangan” kekuatan politik di Muhammadiyah berhasil membawa ND Pane dan semua pengurus beraudiensi kepada Gubernur Raja Inal Siregar. Besok harinya hampir seluruh Koran di Medan memuat berita bahwa Muhammadiyah bebas menyalurkan aspirasi politiknya kepada salah satu dari 3 kontestan. Itu bukan ucapan ND Pane dan akhirnya menjadi masalah yang didiskusikan serius pada saat Musyawarah di kota Salak itu.
ND Pane jauh dari ambisi politik rendah (low politics) apalagi untuk sesuatu motif, misalnya, kemungkinan memperoleh reward melalui rekrutmen oleh penguasa politik (menjadi anggota DPR, MPR atau DPRD Tingkat I, ingat waktu itu lazim) ataupun untuk segepok uang untuk dinikmati sendiri. Bahkan baginya audiensi ke pejabat bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Urgensi audiensi bagi ND Pane hanya untuk meminta pemerintah memperbaiki policy yang salah atau memberi dorongan ketika sudah berjalan on the track.