”…..sebaiknya tangisilah diri sendiri karena tidak mempunyai jasa sebesar almarhum HR Mohammad Said” (HAMKA, 1939)
Delapan puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 25 Nopember 1927. Pada suatu tempat yang amat sederhana di Jalan Nagapatam Nomor 44 Kampung Keling, Medan. Para perantau asal Minang lazim berkumpul di sana. Pada waktu-waktu yang dijadwalkan, biasanya berlangsung pengajian rutin. Tetapi kali ini pertemuan berubah agenda menjadi rapat pembentukan kepengurusan sebuah organisasi yang 15 tahun sebelumnya (1912) didirikan oleh KHA Dahlan di Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah nama organisasi itu.
Pemimpin pertemuan itu bernama Hr Mohammad Said. Ia seorang cendekiawan. Ia juga dikenal sebagai salah seorang aktivis Syarikat Islam. Menurut suatu sumber, Hr Mohammad Said juga mengelola sebuah penerbitan. Sebelum dan sesudah pendirian Muhammadiyah Sumatera Timur dia kerap mewartakan organisasi ini kepada pembacanya. Kelak terbukti bahwa aktivitas ini cukup membantu tidak saja dalam proses pertumbuhan organisasi, tetapi juga kewibawannya di mata publik, termasuk di hadapan pemerintahan kolonial Belanda. Pentingnya media bagi Muhammadiyah memang sudah ditunjukkan sejak awal, termasuk dengan mendirikan koran Mertju Suar di Medan di bawah kepemimpinan Mahjoedanil SH.

Jika saja waktu itu terdapat jama’ah yang berbilang, tentulah pengurus Muhammadiyah yang diputuskan saat pertemuan Nagapatam 44 tak cuma belasan orang: Hr Mohammad Said (Ketua), Djuin St Penghulu (Wakil), Maspono (Sekreraris), Pangulu Manan (Wakil), dan seorang advisor bernama Tandjung Moehammad Arief dan para anggota pimpinan: Kongo St Maradjo, Hasan St Batuah, Awan St Saripado, H Su’ip, dan Sutan Berahim.
Alamat tempat pertemuan itu kini berubah nama menjadi Jalan Kediri. Setelah berlalu 83 tahun, di antara warga Muhammadiyah mungkin ada yang berfikir: ”tidakkah diperlukan merenovasi gedung pertemuan yang bersejarah itu menjadi monumen penting dengan peruntukan dakwah?” Agaknya patutlah hal ini direkomendasikan untuk Musywil XI Sumatera Utara yang akan dilangsungkan tanggal 6-9 Januari 2011 mendatang di Medan.
Sejarah Belum Ditulis
HR Mohammad Said memprakarsai pendirian Muhammadiyah di Sumatera Utara dengan titik awal sebuah kota terpenting (Medan). Setelah itu relatif tercatat pertumbuhan di berbagai kota dan pelosok lainnya. Dalam tulisan singkat ini hanya akan disebut beberapa tempat dan waktu. Karena keterbatasan tidak mungkin menguraikan keseluruhan.
Muhammadiyah Sumatera Barat lebih dahulu berdiri (1925). Diperkirakan beberapa tempat di Tapanuli juga lebih dahulu mengenal Muhammadiyah sebelum prakarsa HR Mohammad Said. Dalam beberapa catatan terpercaya, para pendatang dari Sumatera Barat memang secara sporadis kerap memperkenalkan Muhammadiyah sambil berdagang di daerah yang mereka datangi, termasuk sekitar perkebunan di Sumatera Timur.
Meskipun beberapa terbitan memaparkan tentang Muhammadiyah di Sumatera Utara, namun sejarah yang rinci perkembangan lokal organisasi ini masih belum ditulis hingga hari ini. Tahun 1990 misalnya, sebuah seminar pernah diselenggarakan yang menampilkan narasumber Kalimin Sunar (alumni Mu’allimin Yogyakarta), H Ruhum Harahap (Ketua Muhammadiyah Tapsel), dan HM Nur Rizali (Dekan FISIP UMSU). Seminar merekomendasikan pentingnya penulisan sejarah secara serius dan HM Nur Rizali telah memulai dengan penulisan karya rintisan berjudul ”Sejarah Hidup Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Sumatera Utara dan Perkembangan Cabang-cabangnya”. Tentulah penulisan sejarah ini patut direkomendasikan pula kepada Musywil XI.
Pola Pengembangan
H Ruhum Harahap yakin Muhammadiyah di daerahnya merupakan pengembangan langsung dari Sumatera Barat, dan secara resmi berdiri di Padangsidimpuan (1930), disusul kemudian di Sipirok. Baik dari data yang dihimpun H Ruhum Harahap, HM Nur Rizali maupun Kalimin Sunar ditemukan beberapa catatan perkembangan dengan pola tertentu. Setelah di Medan (1927) maka pada tahun yang sama berdiri pula di Tebingtinggi dan Kisaran.
Akan tetapi jarak antara satu dan lain tempat tidak selalu memudahkan pengembangan. Meskipun Medan dengan Binjai atau Belawan begitu dekat, tetapi justru di kedua kota itu Muhammadiyah barulah berdiri resmi beberapa tahun kemudian. Di Binjai Muhammadiyah berdiri tahun 1930, bersamaan tahun dengan pendirian di Pematangsiantar dan Tanjungbalai. Sedangkan di kota Belawan pada tahun 1933, bersamaan tahun dengan kota Rantauprapat dan Gunungsitoli (Pulau Nias).
Tahun 1936 Muhammadiyah berdiri di Tanah Karo. Lagi-lagi para perantau Minang tercatat sebagai pemrakarsa. Begitu pun di Kota Pangkalan Berandan yang baru berdiri tahun 1939. Bandingkan pada tahun itu di pedalaman Tapanuli Utara seperti desa Sirihit-rihit, Aekbotik, Janji Angkola dan Sibulan-bulan Muhammadiyah sudah berdiri, dan bahkan sudah memiliki Madrasah Ibtidaiyah. Tokoh Golkar H Burhanuddin Napitupulu tercatat menjadi salah seorang murid pertama Madrasah Ibtidaiyah Sibulan-bulan.
Muhammadiyah menghadapi berbagai tantangan berat pada awal pendiriannya. Tantangan itu berasal dari kolonial Belanda dan pihak-pihak lain khusunya terkait dengan munculnya kontroversi pemahaman keagamaan. Tetapi satu hal yang patut dicatat ialah bahwa Muhammadiyah sebagai gejala perkotaan saat itu amat melekat pada peran perantau Minang. Mereka dapat saja mendirikan sesuatu cabang di tempat tertentu dengan klaim sebagai bagian dari Muhammadiyah Sumatera Barat. Memang sudah sejak lama difahami bahwa Muhammadiyah didirikan di Kauman Yogyakarta, tetapi menjadi besar di tangan para perantau Minang yang begitu mobile.
Muktamar ke 28 Tahun 1939
Dalam kondisi kekinian, kira-kira beranikah warga Muhammadiyah Sumatera Utara melamar Muktamar Muhammadiyah mendatang di Kota Medan atau di kota lain di Sumatera Utara? Berani, dan kita pasti mampu. Itulah mungkin jawaban optimistik dari sebagian mereka. Tetapi bayangkanlah, saat Muhammadiyah di sini baru berusia 12 tahun, HR Mohammad Said begitu berani meminang Medan menjadi tuan rumah Muktamar, dan sukses. Bayangkan lagi, saat itu Indonesia belum merdeka. Amat mustahil meminta sesuatu seperti kucuran dana APBD. Saat itu hanya ada kader militan seperti Kalimin Sunar, M Nuh Harahap, OK Kamil Hisyam dan lain-lain, atau Cabang dan Ranting militan termasuk yang datang berbondong dengan perahu layar dari Bagansiapi-api.
Sebenarnya Muktamar ke 28 tahun 1939 di Medan adalah hasil pinangan ketiga setelah pinangan resmi yang diajukan pada Muktamar 25 (Betawi), Muktamar 26 (Yogjakarta) dan Muktamar ke 27 (Malang). Jumlah pengunjung yang tak kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) orang pada Muktamar ke 28 yang dipusatkan di Pusat Pasar ini cukup melukiskan besarnya perhelatan tersebut. HR Mohammad Said memang orang besar.
Semua data ini dicatat pada Majalah Soera Moehammadijah Nomor 4 Tahun 1939. Ngomong-ngomong, berapa banyak warga Muhammadiyah yang berlangganan Majalah ini? Mungkin,juga perlu menjadi rekomendasi untuk Musywil XI Januari mendatang.
HR Mohammad Said wafat tanggal 22 Desember 1939. HAMKA yang kala itu termasuk aktivis penting menceritakan perihal wafatnya tokoh ini dengan rinci. Tentang jumlah pelayat yang demikian besar, tentang pemberitaan media yang melukiskan perasaan kehilangan. Tetapi ada yang amat menarik. Menyaksikan deraian air mata jama’ah saat menangisi kepergian almarhum HR Mohammad Said, dengan amat tegas HAMKA berkata:
”Apa yang kita tangiskan tuan-tuan? Siapa yang kita tangisi? Padahal almarhum yang kita cintai ini wafat meninggalkan jasa yang amat besar. Kalau hendak menangis juga, sebaiknya tangisilah diri sendiri karena tidak mempunyai jasa sebesar almarhum HR Mohammad Said”.
Penutup
HR Mohammad Said meninggalkan agenda amal yang belum selesai. Tetapi ia titipkan Muhammadiyah kepada generasi lebih kuat seperti HAMKA. Kini, setelah 83 tahun, di tengah krisis kepemimpinan yang tidak terbantahkan, orang Muhammadiyah semakin merindukan kebesaran pemimpin HR Mohammad Said. Dengan perannya yang tak tergantikan pula, warga Muhammadiyah pastilah kini amat menyesali diri karena tak pernah berhasil melahirkan sosok pemimpin seperti HM Bustami Ibrahim pendiri UMSU (1957), ND Pane sang autodidak yang amat teguh pendirian dan berpengetahuan luas, dan TA Lathief Rousydiy sang orator ulung.
Tetapi satu hal yang sudah jelas, pemimpin tidak pernah lahir dari sebuah musyawarah. Ia hanya terlahir dari mekanisme kaderisasi. Fastabiqulkhairat. (*)
- Artikel ini ditulis oleh Shohibul Anshor Siregar, sosiolog FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
- Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Waspada, Kamis (23/12/2010).
- Sumber: https://nbasis.wordpress.com