TAJDID.ID || Guru Besar Universitas Indonesia (UI) dan juga pakar politik Prof Dr Backtiar Aly MA mengatakan, terkait masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia.
“Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para perempuan Aceh telah mengukir sejarah nasional dan mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengannya pemimpin tertinggi di masyarakat,” ujar Backtiar Aly, Senin (26/9).
Ia menjelaskan dalam struktur masyarakat wanita Aceh mempunyai otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), Laksamana (pemimpm angkatan perang), Uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.
Menurut Bachtiar Aly, perjuangan wanita Aceh yang terlibat langsung dalam kancah peperangan melawan kolonialisme telah memberi warna tersendiri dalam sejarah perjuangan Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan pejuang wanita lainya.
“Peran mereka sangat besar, tak pernah ada rasa gentar mendampingi suami turun langsung ke medan pertempuran untuk mengusir penjajah, meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya di dalam hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama,” sebutnya.
Lebih lanjut Bakhtiar Aly menyebut Cut Nyak Dhien adalah salah satu pahlawan wanita Indonesia bermental baja asal Aceh, wanita yang terkenal dalam perlawanan melawan penjajahan Belanda.
“Cut Nyak Dhien, tidak pernah merasa takut dan ikut berperang di medan pertempuran bersama para pejuang kaum lelaki untuk mengusir penjajah. Meski beliau seorang wanita, Cut Nyak Dhien tidak gentar dan dengan gagah berani terus memimpinku perlawan melalui perang greliya untuk mengusir Belanda,” tuturnya.
“Cut Nyak Dhien, merupakan sosok yang ditakuti oleh para tentara Belanda. Karena mampu mengobarkan semangat api perjuangan dan berdiri kokoh pada barisan depan depan untuk memimpin pasukan perlawanan rakyat Aceh,” imbuhnya.
Kisah Cut Nyak Dien
Sejarah mencatat, memasuki usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lamnga XIII.
Dikutip dari situs resmi Provinsi Aceh, Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.
Cut Nyak Dhien, mulai ikut angkat senjata dan berperang di medan pertempuran mengusir Belanda pada 1880. Itu tidak lepas dari tewasnya suami Cut Nyak Dhien, Teuku Cek Ibrahim Lamnga saat bertempur pada 29 Juni 1878.Kematian suaminya membuat Cut Nyak Dhien begitu sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan penjajah Belanda.
Pada 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar dan mempersilahkan ikut bertempur di medan perang.
Bergabungnya Cut Nyak Dhien berhasil meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan balatentara Belanda.
Kemudian perang dilanjutkan secara gerilnya dan dikorbankan perang fisabilillah.
Peperangan yang dilakukan setiap hari membuat fisik Cut Nyak Dhien makin hari makin melemah. Hingga akhirnya Belanda dapat menangkap sosok Cut Nyak Dhien dan mengasingkannya di Sumedang.
Di tempat pengasingannya sosok Cut Nyak Dhien mengajarkan ilmu agama dan Al-Qur’an kepada rakyat sekitarnya. Hingga beliau wafat pada 06 November 1908 karena sakit sakitan yang di alaminya. (*)
Reporter: Said Harahap