Selama kita masih terjebak dalam perseteruan mazhab, perbedaan, dan lebih mengedepankan egonya berarti umat islam akan terjajah selama-lamanya. Airmata persatuan tidak boleh berhenti. Bolehlah hari ini kita meneteskan air mata cinta untuk sebuah kebahagiaan generasi kita yang lebih bahagia dan merdeka untuk masa depan mereka. Seperti para pejuang yang telah berjuang 77 tahun yang lalu. Hari ini kita berjuang di sisa usia untuk generasi berikutnya. Di depan kita: anak-anak kita, cucu-cucu kita, para siswa kita, generasi ke depan adalah hasil dari perjuangan kita agar tidak menderita sepeti zaman ini ketika hak-hak azazi semakin dikebiri.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berpesan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 9, Salah satu anugerah Allah yang perlu kita syukuri adalah diberinya kita kemampuan yaitu dapat memiliki keturunan dan kita perjuangkan agar tidak menjadi keturunan yang lemah.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nisa : 9)
Ayat ini pada awalnya adalah peringatan atas kelakuan masyarakat Arab Pra- Islam yang menggunakan hukum rimba sebagai acuan, sehingga pada saat itu masyarakat Arab menjadi lemah dan takut. Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Dzilal Al-Quran menyatakan sebagaimana berikut:
وتشي هذه التوصيات المشددة- كما قلنا- بما كان واقعاً في الجاهلية العربية من تضييع لحقوق الضعاف بصفة عامة. والأيتام والنساء بصفة خاصة.. هذه الرواسب التي ظلت باقية في المجتمع المسلم- المقتطع أصلاً من المجتمع الجاهلي- حتى جاء القرآن يذيبها ويزيلها، وينشئ في الجماعة المسلمة تصورات جديدة، ومشاعر جديدة، وعرفاً جديداً، وملامح جديد
“Wasiat keras ini ditujukan terhadap realita yang terjadi di Arab Jahiliyah, yakni penelantaran hak – hak orang lemah, pada umumnya. Khususnya terhadap anak yatim dan wanita. Kebobrokan ini masih terjadi di beberapa circle masyarakat muslim (yang merupakan pecahan asli dari masyarakat jahiliyah) saat itu, hingga akhirnya Al-Quran menjelaskannya, menghapusnya. Kemudian menumbukan semangat, perasaan, pengetahuan, dan kisah yang baru dalam kelompok muslim”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan generasi setelah kita. Jangan sampai generasi–generasi di bawah kita jadi generasi yang lemah. Lemah di sini maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat tersebut adalah univeralisasi makna. Baik kelemahan dalam aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya.
Lemah yang lebih mencintai Hp daripada Al-Quran. Lemah yang lebih mencintai main game dari pada belajar sejarah para pejuang. Lemah yang lebih mengedepankan kepada kesibukan sia-sia daripada belajar untuk bekal masa depannya.
Kita berjuang dari sekarang dan perjuangan itu tidak mudah untuk mengubah image anak-anak kita agar mencintai yang lebih bermanfaat untuk masa depan. Tindakan preventif ini diperlukan, mengingat kita sebagai manusia tidak seharusnya meninggalkan legacy kepada bumi sebagai planet, maupun sebagai ruang bersosial untuk diisi dengan orang – orang yang tidak kompeten.
Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung jawab generasi sekarang untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti yang tangguh. Hidup adalah seperti pesawat terakhir yang akan menerbangkan kepada kebahagiaan menuju bandara kebahagiaan atau sebaliknya pesawat itu akan hancur di tengah angkasa karena kurangnya bahan bakar atau bertabrakan dengan pesawat dajjal atau pesawat kebohongan, kemungkaran, kekafiran yang tidak ingin melihat generasi kita generasi yang diridhai Allah.
Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa kehidupan kita tidak hanya selesai pada kita. Namun akan berlanjut ke generasi yang berikutnya. Maka mendidik mereka agar mampu menjadi khalifatullah fil Ard dan kebanggaan Rasulullah kelak di hari kiamat adalah tanggung jawab kita sebagai pendahulu. Apabila mereka menebar manfaat dan kebaikan, kitalah yang akan memanennya di akhirat kelak. Demikian pula, jika kita gagal mendidik mereka, maka kerusakan yang mereka timbulkan akan membawa bencana bagi dunia, bahkan hingga di akhirat kelak. Wallahu a’lam. Nashrun Minallahi Wa Fathun Qarieb. (*)
Penulis adalah Ketua PD Muhammadiyah Kota Tegal
Mabruk