Berkaitan dengan hal itu, maka sifat-sifat fanatisme dalam perkara-perkara etnisitas menjadi tidak begitu relevan lagi, meskipun itu akan ditemukan secara mudah dalam realitas kehidupan berbangsa di negeri ini. Dr Ichwan adalah salah seorang yang membangkitkan sensitifitas etnik itu. Ia seorang Melayu dan seorang akademisi tulen. Latarbelakangnya yang pertama sebenarnya kurang menguntungkannya untuk kajian ini. Oleh sebab itu, ia perlu menjelaskan penelitiannya dari jalur akademis saja.
Masalahnya, pada prinsipnya tidak ada satu penelitian pun yang objektif. Suatu ide tidak pernah muncul dengan bebas nilai. Karena itu, tidak tepat bila dikatakan bahwa sebuah penelitian dimulai dari satu gagasan dasar atau fakta (fenomena) yang murni, sebab gagasan dasar itu pun sudah dipersepsi sejak awal oleh sang peneliti. Seorang peneliti kampus hanya setia pada metodologi penelitiannya masing-masing, yakni satu hal yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cukup mudah di depan masyarakat akademis.
Namun kebenaran adalah hal lain. Apa yang disebutkan dengan fakta maupun data tak lebih dari kepingan-kepingan yang tak pernah dapat disatukan lagi dengan utuh, termasuk dalam dialog sejarah yang intens, karena setiap orang yang bekerja secara ilmiah kini dapat membangun konstruksi dan perspektifnya masing-masing, dengan tujuan masing-masing pula. Jadi, satu-satunya yang dapat kita valuasi dan warisi dari kesejarahan adalah kekayaan konstruksi itu sendiri.
Untuk mencoba memahami hubungan peneliti dengan konstruksi penelitiannya, perlu juga kita melihat sejenak dan mempertimbangkan metode kritik sastra, di mana para kritikus kontekstual tidak ingin memisahkan sebuah karya sastra dari latar belakang sosial pengarangnya sendiri. Relevan dengan itu, sebagaimana dimaklumi, sebuah ide penelitian social science harus dimulai dari satu preferensi si peneliti. Preferensi itu bukan pilihan tembak langsung, tetapi didorong oleh akumulasi pengalaman yang membentuk alam sadar dan bawah sadar si peneliti. Seorang teman saya memilih meneliti antropologi bencana karena ia terlibat langsung dalam peliputan-peliputan bencana untuk media tempatnya bekerja. Karena ia sadar bahwa pilihannya itu tidak muncul tiba-tiba, maka ia perlu menjelaskan hal ihwal pilihannya. Itulah yang dimaksud dengan latarbelakang penelitian.
Tapi masalah berikutnya, apakah ia sudah cukup mengungkapkan seluruh latar belakang itu lengkap dengan persepsi yang dibentuk oleh pandangan-pandangan dunianya? Apakah ia sudah cukup utuh menampilkan dirinya dalam penelitian itu agar orang dapat memahami sejarah pikirannya, bukan hanya sekadar memahami metode yang digunakannya? Akhirnya, dalam diri si peneliti sendiri sesungguhnya telah terjadi dialog dan proses berpikir yang maha rumit, yang mustahil disampaikan dalam sebuah bagian latarbelakang penelitian yang singkat. Dengan kata lain, pilihan akhir terhadap tema penelitian itu adalah masalah yang kompleks dan memerlukan kajian khusus dalam kritik sastra maupun tafsir-tafsir sosial, yang juga disadari tidak akan pernah bisa mencapai kebenaran yang terus dicari manusia-manusia kampus, dan karena itu mereka cukup tahu diri untuk menyempitkan batas-batas kebenarannya dengan menyebutnya sebagai kebenaran ilmiah saja.
Oleh karena itu, dalam diskursus penelitian Dr Ichwan tentang konstruksi Batak, adalah lebih produktif untuk menelusuri siapakah Dr Ichwan, apa pengalaman hidupnya tentang Batak, latar belakang pemilihan tema penelitiannya, dan pesan apa sesungguhnya yang ingin disampaikannya lewat kesimpulan penelitian itu terhadap penelitiannya–ketimbang marah-marah atau menolak karyanya dengan cara-cara yang memiskinkan dialog dan pada akhirnya menutup pintu-pintu ilmu pengetahuan.
Apalagi, sejarah etnisitas sendiri bukanlah ajaran kitab suci, yang menurut Prof Vedi tak lebih dari proses-proses yang penuh dengan kebetulan-kebetulan, dinamika sosial, serta menawarkan warna-warna yang bisa kita nikmati hari ini, kita diskusikan bersama, dan dihayati sebagai semangat pengetahuan serta rahmat Tuhan. (*)
Artikel ini dikonversi dari sebuah tulisan di laman Facebook Tikwan Raya Siregar.