Orang Batak seperti saya (demikianlah pandangan saya dulu), tentu tidak perlu tersinggung apalagi marah dengan hasil penelitian Dr Ichwan. Memang demikianlah sejarah etnik dan budaya berproses. Sejarah, sebagaimana yang kita pahami, adalah kumpulan konstruksi yang tidak selamanya muncul berdasarkan apa yang dipikirkan para ahli waris etnik atau kebudayaan itu sendiri. Lebih dari itu, penulisan sejarah pun tidak pernah lepas dari urusan kekuasaan dan tujuan-tujuannya.
Dengan sifat tersebut, sejarah selalu akan membuka dialog yang tak pernah usai. Termasuk untuk menerima konstruksi versi lainnya, bahwa kata Batak adalah bermakna penunggang kuda. Versi terakhir ini adalah pengertian yang dikonstruksi oleh mereka yang mencoba mempertahankan kemuliaan kata Batak sebagai etnik dan identitas.
Sejarah sosial bukan lagi sekadar fakta artefak dan fosil. Kini ia telah bertransformasi menjadi dialog pemikiran, dialog antar-perspektif, serta dialog antar-kekuasaan sebagai latarnya, dan membuat siapapun yang mencintainya akan makin kaya. Dalam penulisan sejarah, tidak ada yang pasti kecuali dialog itu sendiri. Simpul ini pulalah yang kemudian menyamakan sifat-sifat atau hakikat ilmu sosial dengan ilmu fisik, di mana Albert Einstein sudah lebih dahulu tiba pada hukum relativitas energi (sebuah pengakuan intrinsik pada keterbatasan manusia dan terhadap adanya Kebenaran Tunggal di atas semua kepingan ilmu pengetahuan).
Rilis hasil penelitian Dr Ichwan telah mengundang reaksi yang ramai, bahkan lebih ramai dari yang ia bayangkan sendiri. Di beberapa milis dan jejaring sosial, berita itu disebarkan dan didiskusikan orang. Ada yang menanggapinya dengan santai, ada yang mencibir dan marah, serta ada yang serius, meski tidak semuanya disampaikan secara akademis. Salah satu di antara sedikit anggota milis yang menanggapinya secara akademis dan terbuka adalah adalah Prof Dr Vedi R Hadiz, seorang visiting fellow di Australian National University, Melbourne, Australia.
Profesor Vedi pada prinsipnya memperkuat hasil penelitian Dr Ichwan dengan menegaskan pendirian akademisnya menyangkut konstruksi-konstruksi etnik dalam sejarah dunia. Ia mengungkapkan banyak sekali contoh konstruksi luar terhadap sebuah etnik di luar Batak yang sudah dibicarakan di atas. Istilah “Moro” untuk menyebut orang Islam di Filipina Selatan adalah ciptaan orang Spanyol. Orang Spanyol menyebut orang Islam di negeri mereka sendiri dengan “Moor”. Ketika bangsa itu menjajah Filipina, maka terciptalah identitas orang “Moro” yang sebelumnya tidak ada.
Perbedaan antara Tutsi-Hutu di Rwanda dan Burundi, menurut Prof Vedi, juga adalah ciptaan orang Belgia. “Menurut dugaan saya, India pun adalah ciptaan orang Inggris mengingat perbedaan orang Tamil dengan orang Sindhi yang boleh dibilang sepadan dengan perbedaan antara orang Slovakia dan orang Skotlandia di Eropa. Kita juga sering mendengar bahwa istilah Dayak sebagai penamaan yang relatif baru. Hal yang sama bisa kita terapkan di Eropa sana. Menurut saya, orang Inggris itu tidak ada. Mereka adalah campuran dari berbagai suku Celtic, Germanic, Viking dan yang budayanya pernah dipengaruhi orang Latin dan Perancis. Orang Perancis itu siapa? Dulu wilayah mereka ditinggali oleh orang yang disebut kaum Gaul oleh orang Romawi. Mereka juga suku Celtic–yang ngomong-ngomong juga pernah ada di Belgia, Swiss, Eropa Tengah, hingga Turki (orang Galatia yang disebut dalam Kitab Perjanjian Lama). Tapi kemudian mereka jadi orang Perancis karena wilayah Gaul semakin menjadi Latin–setelah kejatuhan kerajaan Romawi–serta diserbu oleh suku Franks yang adalah sejenis suku Germanic,” papar Prof Vedi dalam sebuah imelnya yang diposting seorang teman di Jakarta.
Dengan konstruksi itu, maka orang “Perancis” secara inheren ternyata juga tidak dimaksudkan sedemikian oleh mereka yang menyebut dirinya bangsa Perancis. Mereka cuma blasteran orang Celtic dan Germanic yang telah di-Latin-kan. Begitulah seterusnya, sampai kita pun menyadari bahwa istilah Indonesia sendiri sebenarnya adalah konstruksi para orientalis/kolonialis yang kemudian balik gagang melawan kekuatan kolonialisme mereka sendiri. Adalah George Samuel Windsor Earl (Inggris) yang pertama kali memperkenalkan nama itu lewat majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) yang terbit di Singapura pada tahun 1850.