Oleh: M. Risfan Sihaloho
Mengapa seorang penguasa atau sebuah rezim begitu rentan jadi berwatak otoriter?
Jawabannya sederhana, itu dikarenakan logika kekuasaan yang pada dasarnya adalah tentang kecenderungan mempertahankan kekuasaannya dengan pelbagai upaya, bahkan dengan menghalalkan segala cara.
Kecenderungan logika ini sudah berlaku galib dan telah menjadi dalil pokok setiap rezim yang berkuasa, di manapun dan kapanpun.
Kendati pada awalnya banyak para calon penguasa yang tampil rendah hati dan penuh kesehajaan, tapi ketika kekuasaan sudah berhasil digenggamnya dan ia sudah mulai merasakan bagamana nikmat dan candu dari pesona kekuasaan itu, maka tiba-tiba muncul ketakutan dalam benaknya, yakni takut akan kehilangan kekuasaannya.
Ya. Ketika sudah menang dan kekuasaan sudah dalam pangkuan, tidak ada jaminan syahwat kekuasaan sertamerta terpuaskan. Justru syahwat kekuasaan semakin menjadi-jadi.
Ambisi tahap berikutnya setelah meraih kekuasaan adalah bagaimana “mengolah” kekuasaan secara maksimal untuk meraup keuntungan sembari bagaimana mengupayakan mengukuhkan kekuasaan agar tidak diusik dan diganggu pihal lain. Dan salah satu cara yang paling praktis untuk melakukan itu adalah dengan menjadi penguasa yang otoriter.
***
Secara filosofis, logika kekuasaan seperti ini bukannya tanpa alasan. Adalah Nicollo Machiavelli, seorang filusuf Italia, pernah menyoroti logika kekuasaan dengan memperkenalkan konsep raison d’ etat. Konsep ini secara eksplisit mengandung doktrin, bahwa sasaran utama politik negara adalah mempertahankan kekuasaan negara, sedangkan moral dan hukum harus tunduk di bawah tuntutan politik.
Bila dicermati, selama ini banyak kalangan—termasuk para pelaku kekuasaan—yang menganggap ajaran Machiavelli ini keliru dan sesat, karena telah menjustifikasi penggunaan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan mengabaikan intervensi moral di dalamnya.
Namun sepertinya sulit dibantah, gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai hari ini. Banyak penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai “buku pegangan” (hand book). Salahsatu magnum opus Machiavelli adalah II Principe atau The Prince (Sang Penguasa)
Il Principe merupakan kitab nasihat praktek terpenting bagi seorang pelaku kekuasaan. Doktrin utama buku ini adalah, untuk meraih kesuksesan dan dun supaya bisa langgeng, seorang penguasa sepenuhnya harus mengabaikan pertimbangan moral dan menghalalkan segala cara dengan mengutamakan kekuatan dan kelicikan. Artinya, Machiavelli membenarkan kekuasaan lewat kekerasan dan bukan lewat hukum. Karenanya, Sang Penguasa tampaknya membenarkan sejumlah tindakan yag dilakukan semata-mata untuk melestarikan kekuasaan.
Bahkan, di dalam II Principe, Machiavelli sempat menuliskan sebuah trik yang menurutnya layak ditiru penguasa jika ingin mempertahankan status-quo kekuasannya;
“Penguasa negara haruslah mempunyai dua sifat sekaligus, seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk menakuti serigala.” (*)