Oleh: Tikwan Raya Siregar
Rusia mengambil keputusan penting. Sangat penting malah, apabila ini dipahami secara mendasar. Vladimir Putin menetapkan, rubel (mata uang negara terbesar di Eropa Timur itu) terikat kembali kepada emas. Artinya, rubel tidak lagi bebas menurut kehendak pasar, tetapi terikat menurut kehendak alam, yaitu nilainya disesuaikan kembali terhadap jumlah harta riil yang dimiliki negara bekas Uni Soviet itu. Selama ini, rubel hanyalah salah satu mata uang yang inferior terhadap dolar dan euro pada perdagangan dunia.
Dengan terikatnya rubel terhadap emas, maka nilainya menjadi tetap dan stabil menurut logam mulia sebagai hakim yang paling adil dalam menilai harta. Dengan patokan yang keras ini, Rusia gantian menyerukan kepada dunia tentang alat tukar baru yang harus dipakai dalam setiap perdagangan global yang melibatkan produksi negara itu. Mata uang itu adalah rubel. Dan rubel itu mewakili satuan emas.
Celakanya bagi negara-negara Eropa Barat (Uni Eropa), kini euro mereka tak laku lagi untuk berbelanja minyak dan gas dari Rusia. Sedangkan sebanyak 49% keperluan minyak dan gas mereka selama ini dipasok dari Rusia. Darimana mencari gantinya? Atau darimana bisa dapat rubelnya?
Karena sumber minyak dan gas dari negara lain tidak memungkinkan lagi, atau akan lebih mahal biayanya, maka satu-satunya jalan bagi Uni Eropa adalah berburu rubel. Ada dua jalan yang bisa mereka tempuh. Pertama memohon-mohon kepada Rusia agar menukarkan euro mereka ke rubel. Ini jelas memerlukan kerja keras diplomatik yang tinggi. Sebab bisa saja Putin mengatakan dengan enteng sambil main catur, “No! Saya belum memerlukan euro”. Atau kalau dia mau, dia bisa membuat penilaian baru terhadap daya tukar euro terhadap rubel. Bisa Anda bayangkan bila hal ini terjadi. Ini bisa saja ia lakukan di tengah kejengkelannya terhadap sanksi ekonomi dan budaya yang dilakukan Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Cara terakhir yang bisa dilakukan oleh Uni Eropa adalah dengan membongkar brankas-brankas emas mereka dan dijual ke Rusia untuk mendapatkan rubel, yang seterusnya bisa digunakan shopping minyak dan gas.
Dimana posisi dolar? Dolar hanya akan bertahan di negara-negara yang banyak pengakuan utang publiknya dalam dolar. Karena negara-negara yang terjebak utang dolar ini harus tetap membayar dalam dolar, maka mereka masih mengejar-ngejarnya dalam transaksi ekspor, agar tercapai target devisa yang aman untuk mencicil pokok dan bunga utangnya, memenuhi kebutuhan belanja impor, serta mengamankan nilai mata uang kertasnya apabila terjadi gejolak nilai valas di pasar uang.
Tapi China, India, dan Rusia, sudah pelan-pelan melepaskan ketergantungan dolarnya. China dan Rusia bahkan sudah lebih terang-terangan memposisikan dolar sebagai beban perekonomian dunia, oleh karena itu harus ditinggalkan dan sebisa mungkin dikembalikan kepada si empunya dengan cara mereka membayarnya kembali dengan emas atau harta yang asli. Bahkan China yang terlanjur mengumpulkan devisa dolar yang sangat banyak sebagai hasil booming produksinya pasca kebijakan ekonomi terbuka, harus jor-joran membuang dolarnya dalam berbagai keputusan mega-investasi di Asia dan Afrika. Sebab berinvestasi di Eropa dan AS, baik di sektor keuangan maupun sektor riil sudah tidak memungkinkan lagi. Ekonomi kedua benua itu sudah kempes karena kerakusannya sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri yang menyimpan salah satu cadangan emas terbanyak di dunia ini, perlu untuk segera sadar posisi dan peranannya terhadap perubahan cepat di dalam aturan main ekonomi dunia ini. Seandainya para pemimpin nasional mau mendengarkan nasihat Shaykh Abdalqadir as Sufi sejak 30-an tahun lalu untuk kembali ke emas dan perak, atau menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar, atau yang paling tidak menjadi acuan nilai rupiah agar tidak terjerat kehancuran dolar, tentu Indonesia saat ini adalah salah satu negara terkuat ekonominya di samping Rusia dan China.
Nasib bangsa ini adalah pada kemampuannya memberikan nilai pada kekayaannya sendiri, serta pada kebudayaan yang pernah membesarkannya. Sebuah bangsa tidak bisa kuat dengan menggunakan tulang dan daging yang dicangkokkan padanya dari luar. Rusia sendiri sedang menuju jalan pulang pada kebudayaan ortodoxi-nya. China dengan budaya kerja kerasnya. India dengan tradisi emasnya. Kita mau pulang kemana?
Dan kapan hasil-hasil bumi kita yang melimpah ruah ini akan dihargai dengan uang yang kita nilai sendiri, yang kita buat sendiri, atau dengan sesuatu yang diperoleh bangsa-bangsa lain dengan keringat yang seimbang? (*)
Artikel ini dikonversi dari sebuah tulisan di laman facebook Tikwan Raya Siregar.