Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Dugaan kuat tentang pecah kongsi (pekong) Eramas bukan karena keinginan Edy Rahmayadi maju kembali untuk periode ke dua yang bertabrakan dengan hasrat Musha Rajekshah, dan juga bukan karena kini Musha Rajekshah sudah menjadi Ketua partai.
Semua anomali yang mengemuka, yang mengindikasikan pekong, dan menjadi konsumsi publik, itu, hanyalah instrumen rivalitas tak terhindari karena prinsip-prinsip dasar tak lagi disepakati, yang lazimnya adalah soal aktualisasi otoritas yang sebetulnya sudah diatur rinci oleh UU.
UU sudah mengatur rinci apa tugas Kepala Daerah dan apa tuga Wakil Kepala Daerah. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa Wakil Kepala Daerah itu adalah ibarat ban serap belaka. Ini berlaku umum dalam penataan demokrasi dan pemerintahan pada hampir semua negara demokrasi yang mirip, termasuk, misalnya, bagaimana peran dan posisi Wakil Presiden di Amerika Serikat. Wakil itu ban serap.
Dalam kasus Indonesia sejak dini hal ini sudah dinyatakan sebagai salah satu titik lemah model demokrasi lokal. Pada zaman SBY, pasca pilkada langsung gelombang pertama, dijanjikan kajian untuk mencari model terbaik. Kemudian dibuat UU baru. Setelah Joko Widodo-M Yusuf Kalla memenangi pilpres, langsung terbit Perppu yang membatalkan UU itu.
Sumut Punya Kisah
Syamsul Arifin pekong dengan Gatot Pujonugroho. Hal yang sama terulang pada Gatot Pujonugroho-HT Erry Nuradi. Tetapi disharmoni tak selalu berujung saling “eliminasi mematikan”. Tetapi Walikota Medan Rahudman Harahap tidaklah begitu harmonis dengan Dzulmi Eldin (Wakil Walikota Medan). Keduanya tetap menahan diri hingga akhirnya Rahudman Harahap berhenti karena berurusan dengan hukum.
Dipastikan tak seinchi pun andil Akhyar Nasution mempersulit Dzulmi Eldin hingga berurusan dengan hukum. “Kini yang sedang belajar menjadi Walikota itu adalah Akhyar Nasution dan ia sangat leluasa untuk itu. Jangan khawatir”, kata Dzulmi Eldin suatu ketika. Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution tak selalu harmonis. Tetapi tak pernah saling “eliminasi mematikan”.
Masalah ini berskala nasional, terletak pada sistem. Bedanya hanya pada kemampuan memenej perasaan untuk menyelamatkan efektivitas pemerintahan. Tentu orang sekeliling yang di Sumut kerap disebut “tukang kompor” pastilah memiliki andil.
Memeriksa Warisan Majapahit
Sejarah panjang Indonesia memiliki catatan tentang pekong dan tentang buruknya kinerja setelahnya. Soekarno-Hatta pekong. Sangat serius, jauh melebihi keseriusan pekong-pekong nasional setelahnya. SBY-M.Yusuf Kalla pekong. Banyak riak politik yang memastikan Joko Widodo tak harmonis dengan M Yusuf Kalla, dan itu berbeda alasan dengan disharmoni Joko Widodo dengan KH Ma’aruf Amin.
Apakah aspek partisanship bekerja di sini? Edy Rahmayadi tak bergeser dari kenonpartisanannya. Dapat diduga ia beroleh tawaran ke partai tertentu yang selalu dapat disikapi manis, tanpa penurunan respek dari partai yang memintanya itu. Jika tak dipantangkan berandai (imajinasi), sekiranya Edy Rahmayadi tempohari pernah berniat menjadi Ketua DPD Golkar Sumut, misalnya, itu pun bukan sesuatu yang harus dianggap musykil.
Mungkin pekong politik Indonesia harus dicari rujukannya hingga ke zaman Majapahit. Tetapi Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) pernah berkata: My Loyalty To My Party Ends When My Loyalty To My Country Begins. Ucapan itu populer di seluruh dunia. Karena bahasa Inggeris banyak orang salah menganggapnya berasal dari London atau Washington.
Kinerja Pemerintahan
Lima determinan utama pemerintahan level mana pun, sesuai tuntutan imperatif konstitusi, dinukilkan pada Muqaddimah UUD 1945. Pertama, penjajahan harus dihapus. Paradoksnya, terus saja berkembang, tak hanya antar negara dengan bermacam pola, tetapi juga sesama warga. Literasi di semua bekas jajahan tak sampai mengenali doktrin dan kenyataan yang menjadi tantangan besar ini.
Kedua, perlindungan bangsa dan jengkal demi jengkal tanah air. Paradoknya, negara lemah kerap berperan komprador demi recehan.
Ketiga, kesejahteraan umum menandai negeri maju dan tak lagi didikte asing (negara maupun korporasi) serta terus mengembangkan indikator berperadaban tentang itu.
Keempat, unlimited literacy sebagai kemajuan budaya dan sumberdaya insaniah. Investasinya tak terwakili oleh pandangan dangkal para elit yang memaknai terlalu determinatif barang-barang ragawi bernuansa penumpukan kekayaan bagi eksploitator atau predator.
Kelima, keniscayaan sikap, pendirian, dan tindakan tegas atas segala bentuk kendala kultural dan struktural yang mengangkangi jalan perdamaian dunia.
Meski ada skala tanggung jawab berbeda di hulu dan di hilir, sesuai kadar sentralitas yang terus diperkuat, yang di dalamnya otomatis peran pemerintahan nasional memiliki keniscayaan utama, namun para pemimpin daerah juga tak luput dari tuntutan atas kelima determinan itu.
Dilihat dari ukuran itu, apa saja yang akan dipermodalkan untuk berani berdiri di hadapan rakyat yang sama, yang penah memilih mereka, baik secara bersama sebagai Eramas mau pun secara sendiri-sendiri untuk Pilgubsu 2024?
Tentu masih ada waktu untuk berbenah. Meski realitas sosial selalu terbuka untuk ditafsirkan ganda, namun jika merujuk data resmi Eramas, indikator-indikator umum pemerintahan terlihat tak terlalu buruk dibanding capaian berbagai daerah dan nasional yang sedang dilanda badai Covid-19 ini. Tetapi Eramas tak boleh berpuas diri. Mestinya berfikir keras tentang apa legacy yang akan diwariskan.
Paling tidak 5 gubernur pengukir prestasi yang seolah tak dapat diulang. SM Amin mengkonsolidasikan rakyat mempertahankan kemerdekaan meski tak seberat beban TM Hasan yang “di tangannya” Kesultanan-Kesultanan di Sumatera Timur lenyap oleh badai transisi politik.
Abdul Hakim Harahap menggagas pendirian USU, membawa PON III ke sini dan membangun Stadion Teladan. Marah Halim Harahap membangun jalan bergaransi 25 tahun. Juga turnamen internasional Mahal Cup, agenda FIFA. Dia juga semacam kabel sambung Orla ke Orba, dirijen lokal transisi.
EWP Tambunan berupaya akuntabel soal anggaran. Raja Inal Siregar memadukan potensi lokal dan rantau untuk kebangunan daerah di tengah ketakcukupan kueh pembangunan dengan Marsipature Huta Na Be.
Prestasi pendahulu itu menjadi pembanding bagi Eramas untuk mengukir legacy baru. Misalnya, warisan sejarah kota Medan dan Sumut seperti Gedung Nasional dan Lapangan Merdeka yang bernilai penting sebagai cagarbudaya. Jangan dibiarkan menjadi monumen kegamangan bangsa atas jatidiri abad 21. Memang tak bernilai ekonomis sama sekali, karena urusannya adalah moral bangsa, kepribadian bangsa, sejarah bangsa. Sangat berbeda dengan nilai sebuah patung baru.
Warisan fasilitas olahraga bertaraf internasional, Sports Centre, di daerah Kualanamu, dapat disegerakan. Dapatkah Eramas memastikan warisan reindustrialisasi Indonesia di Sumut? Berbagai industri yang sayangnya mungkin terpaksa menggunakan modal asing, tentu sangat diperlukan.
Warisan infrastruktur, tidak hanya jalan, jembatan, dan lain-lain. Tetapi juga fasilitas fisik publik lainnya, terutama penyediaan energi listrik dan infrastuktur supportif pertanian dan perikanan. Semua tahu sektor pertanian karakteristik negeri yang disiksa oleh mekanisme nasional di bawah dikte global atas nama food security yang isyunya dikemas tak jujur. Begitu juga bahari terbentang dengan begitu banyak kekayaan, hanya didendangkan mengikuti syair dan pantun yang tak selalu mendidik.
Warisan pemekerjaan penuh (full employment) semua warga menganggur untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan tentu akan sangat fenomenal. Ini suatu tantangan yang selama ini hanya disikapi secara konservatif oleh para elit dengan wawasan keterdiktean negara dan kekuatan modal predator yang lebih yakin neoliberalisme sebagai jalan terbaik. Elit tak akrab istilah welfare state yang gagasannya ada pada konstitusi.
Adalah nilai warisan budaya tak terhingga memosisikan Kesultanan dan sejarahnya yang tepat dalam bingkai NKRI. Negeri ini memiliki masa lalu yang penting dan tidak boleh kolonial dan antek serta pewarisnya terus mendikte sejarah sebuah bangsa besar. Kajian objektif untuk ini diperlukan, tentu bersama perguruan tinggi dengan para intelektual organiknya. Lakukan itu secara eklektif, karena perguruan tinggi saat ini pun telah terlalu banyak menunjukkan indikator perasaan menikmati sphere keterjajahan intelektual yang menyedihkan.
Masalah agraria begitu pelik. Terutama eks HGU PTPN itu sangat tergantung pada political will Jakarta yang terbukti selalu tak berdiri pada sikap terbebas dari dikte pemodal. Berambisi untuk penyelesaiannya adalah pahala besar monumental.
Visi Sumut Bermartabat
Visi Sumut bermartabat itu bagus. Namun pandemi Covid-19 merontokkannya. Tak hanya satu dan lain daerah yang gagal soal ini, karena visi nasional juga terpengaruh atas situasi global yang degradatif. Karena itu diperlukan jalan kompromi yang elegan.
Seburuk apa pun kondisinya saat ini, rakyat tetap menginginkan Eramas berusaha merahasiakan pekong sembari mengedepankan kesan soliditas. Rakyat, di luar “para kompor” itu, sama sekali tak rela menerima pekong. Suara ini dapat mewakili mayoritas yang masih diam.
Pertimbangkan matang-matang, sempurnakan tahajjut, nilai ulang semua keterlanjuran. Pekong Eramas yang menyebabkan Edy Rahmayadi dan Musha Rajekshah kelak berhadap-hadapan pada Pilgubsu 2024, pastilah bermakna karpet merah untuk pasangan ketiga.
Karena itu berdirilah tegak sebagai negarawan yang terus berusaha menghasilkan legacykuat untuk rakyat. (*)
Penulis adalah dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut