Oleh: Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Dalam sebuah pelajaran politik, seorang dosen menjelaskan bentuk-bentuk negara atau pemerintahan. Sang dosen menjelaskan bentuk pemerintahan yang populer.
Pertama sang dosen menyebut Demokrasi: pemerintahan dimana rakyat memiliki kedaulatan tertinggi. Setelah menyebutkan berbagai bentuk lain yang populer, sang dosen kemudian bertanya kepada mahasiswa.
Dosen: Coba siapa yang bisa menyebutkan bentuk lain?
Mahasiswa 1: Plutokrasi Pak.
Dosen: Artinya?
Mahasiswa 1: Pemerintahan dimana kelompok kaya menjadi kekuatan yang paling menentukan.
Dosen: Ada bentuk lain lagi?
Mahasiswa 2: Timokrasi
Dosen: Artinya?
Mahasiswa 2: Pemerintahan dimana para pemimpinnya suka sekali popularitas. Narsis. Pingin sekali dipuji.
Dosen: Kamu pintar. Tapi kelewat kritis. Ada lagi?
Mahasiswa 3: Kleptokrasi Pak.
Dosen: Maksudnya?
Mahasiswa 3: Negara dimana korupsi merajalela. Pejabat dan rakyat suka mencuri. Negeri maling.
Dosen: Ya. Memprihatinkan. Ada lagi?
Kelas agak hening. Tiba-tiba seorang mahasiswa angkat tangan.
Mahasiswa 4: Ada lagi Pak.
Dosen: Apa itu?
Mahasiswa 4: Tipokrasi Pak!
Kelas jadi gaduh. Ngawur. Mana ada Tipokrasi. Mahasiswa saling bersahutan.
Dosen: Coba jelaskan apa itu Tipokrasi? Tanya sang dosen sambil senyum-senyum.
Mahasiswa 4: Tipokrasi berasal dari kata “Tipo” yang berarti salah. “Tipo” berarti kesalahan yang ditutupi atau dihapus. “Krasi” berarti pemerintahan. Tipokrasi artinya negara atau pemerintahan dimana pemerintah dan pemimpin suka ingkar janji. Bicaranya mencla-mencle. Sering bohong dan membohongi rakyat.
Kelas gaduh. Sang dosen hanya diam. Senyum-senyum. Tipokrasi. Negeri para penipu. Tipokrasi. Ada-ada saja mahasiswa sekarang.
Bagaimana menurut pembaca?. (*)
Sumber: Facebook Abdul Mu’ti