Site icon TAJDID.ID

Terkait Wacana Penundaan Pemilu, Herlambang Kritisi Pemikiran YIM dan Agus Irwanto yang Terlalu Formalisme Prosedural

Herlambang P Wiratraman. (Tangkapan layar Youtube)

TAJDID.ID || Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang P Wiratraman mengatakan, upaya pemaksaan penundaan pemilu bukanlah cerminan cara berhukum yang baik. Alasannya, selain tidak demokratis dan tidak legitimed, situasi politiknyapun sekarang dalam cengkraman oligarki.

Herlambang mengatakan hal tersebut dalam Diskusi Publik Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES dengan tema “Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi”, Selasa (1/3/2022).

Karena itu, peneliti LP3ES ini kemudian melontarkan kritik terhadap pendapat dua pemikir Hukum Tata Negara Indonesia, yakni Yusril Ihza Mahendra dan Agus Irwanto terkait wacana penundaan Pemilu 2024 yang hangat jadi perbincangan publik belakangan ini. Dia menilai pemikiran Yusril dan Agus terlalu formalisme prosedur dan terkesan menawarkan legitimasi penundaan pemilu.

Diketahui, dalam keterangannya yang diberitakan sejumlah media, Yusril mengatakan mekanisme penundaan Pemilu  tidak memiliki dasar hukum yang diatur dalam konstitusi atau UUD 1945. Dan Yusril mensinyalir penundaan pemilu akan membuat timbulnya pemerintahan yang ilegal, sebab dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.

“Namun setelah itu Yusril mengatakan ada tiga cara yang perlu ditempuh jika ingin mewujudkan penundaan Pemilu, yakni amandemen UUD 1945, pengeluaran dekrit Presiden dan menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara,” kata Herlambang.

Baca juga: Yusril: Penundaan Pemilu Potensial Timbulkan Konflik Politik

Sedangkan Agus Riwanto, menulis sebuah opini di sebuah media nasional dengan judul “Hukum Penundaan Pemilu” menyebut situasi tidak memungkinkan untuk menunda Pemilu.

“Betul bahwa ada situasi yang tidak memungkinkan untuk menunda Pemilu, tapi dalam artikel yang ditulisnya ia (Agus Riwanto-red) menawarkan legitimasi penundaan, yakni melalui amandemen dan atau Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi.,” katanya.

Herlambang mengatakan, intinya dua pemikir hukum tata negara itu (Yusril dan Agus-red) ingin mendiskripsikan cara atau jalan keluar.

“Menurut hemat saya kelihatannya baik, memberikan jalan keluar. Tapi masalahnya, mengapa cara berpikirnya formalisme prosedur? Mengapa tidak memikirkan desain ketatanegaraan yang merefleksikan misalnya lebih modern, visi republik dan refleksi hukum demokratis?,” sebut Herlambang.

“Jadi kalau mau mengamandemen konstitusi itu tidak sekedar untuk penundaan pemilu, tapi mestinya bagaimana mendorong konstitusi itu lebih merefleksikan negara hukum demokratis,” tegasnya.

Herlambang merasa heran, mengapa tiba-tiba keinginan ingin memberikan jalan keluar itu karena urusan soal penundaan pemilu.

“Saya kira kita sudah cukup paham proses-proses untuk penundaan Pemilu ini sangat mencerminkan proses yang sangat tidak demokratis, karena alasannya tidak legitimed dan situasi politiknyapun dalam cengkraman oligarki. Dan ini bukan cerminan cara berhukum yang baik kalu memaksakan penundaan pemilu,” sebutnya.

Bersambung ke hal 2.

Tak Ada Basis Konstitusionalisme Penundaan Pemilu 

Herlambang kemudian menuturkan, pada sebuh diskusi di Fakultas Hukum UGM belum lama ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya. Pertanyaannya; “Apakah menunda pemilu itu harus lewat amandemen?”.

“Menurut saya ini bisa jadi pertanyaan yang menjebak, karena seakan-akan kita memberi jalan keluar atas situasi mau amandemen atau tidak. Pada hal kalau mau menggagas amandemen itu harusnya yang komprehensif dan banyak teori konstitusi yang perlu dipikirkan serta dipertimbangkan,” kata Herlambang.

Tapi, kata Herlambang, sebenarnya jawaban atas pertanyaan itu sederhana. Ia menjawabnya dengan konsekuensi hukum, dimana konstitusionalismenya adalah tidak ada basis, baik secara structure-functional based constitutionalism maupun human right based constitutionalism.

“Jadi tidak ada basis untuk menunda pemilu karena alasan konstitusionalisme. Itu clear. Makanya saya tidak sependapat dengan cara berpikir yang tiba-tiba formalisme prosedur seperti itu. Kenapa ? Penjelasannya, sebab hukum itu selalu dengan konteks, tidak di ruang kosong dan tidak serba netral,” kata Herlambang,

Baca juga:

 

Neo-Otoritarianisme

Atas dasar itu pulalah, Herlambang mengungkapkan dirinya pernah membuat sebuah tulisan di tahun 2018 pada saat Konfrensi Nasional Hukum Tata Negara ke 5 di Batusangkar yang mengangkat tajuk ” Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum”. Pada waktu ia mempersembahkan sebuah tulisan dengan judul “Pemilu dan Neo-Otoritarianisme”

“Mengapa saya memilih judul ini? Karena saya meyakini ada situasi yang harus dibaca lebih hati-hati lagi untuk memperbincangkan pemilu. Menurut saya, dalam kontestasi pemilu muncul pertanyaan apakah memang pemilu demokratis akan melahirkan pemerintahan yang demokratis? Karena logika turunan demokratisasi pemilu yang katanya melahirkan demokratisasi kekuasaan tidak kunjung terjadi,” kata Herlambang.

“Kenapa? Karena sistem politik kita di bawah bayang-bayang kartel politik yang mengancam demokrasi Indonesia. Bahkan pemilu bisa jadi sumber energi yang menggerakkan politik ke arah otoritarianisme dalam bentuk baru dengan kekuatan sumberdaya ekonomi pembangunan ekonomi,” imbuhnya.

Oleh karena itu, lanjut Herlambang, tidak mengejutkan dalam konteks politik Indonesia hari ini hal itu terjadi. Pasalnya, kata Herlabang,  pemilu sangat bisa menjadi sumber kuasa otoritarianisme modern dalam struktur dan sistem ketatanegaraan. Hal itu ditandai dengan dua hal yang kecenderungannya makin menguat saat ini, yakni kartelisasi politik dan dan korupsi sistemik dalam politik lembaga neara dan partai.

Menurut Herlambang, fenomena itu sudah terlihat pada Pemilu 2014 dan 2019, dimana kontestasi yang terjadi menggambarkan rivalitas yang saling berhadap-hadapan (head to head} yang kemudian menebalkan praktik koalisi politik pragmatisme.

“Saya menyebutnya dengan karakter politik keroyokan atau gang politics dari pada karakter politik ideologis atau ideological politics,” tukasnya.

Lantas apakah kemudian imajinasi ketatanegaraannya memperkuat sistem presidensial? Herlambang mengatakan hal tidak tidak terkait langsung.

“Kalau format kekuatan yang bekerja adalah lebih mencerminkan kartelisasi politik, maka yang terjadi adalah representasi yang mengakomodir kepentingan koalisi kartel tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang ramah dengan kuasa kartel (cartel friendly policies),” sebutnya.

Bersambung ke hal 3

Kemudian Herlambang menjelaskan, pilihan istilah neo-authoritarianism merujuk pada defenisi yang diutarakan He li dalam bukunya “Political Thought and China’s Transformation (2015)”: “an enlightened autocracy: a strong leader adopts undemocratic mesures to enforce economic develoment”. Artinya, sebuah otokrasi yang tercerahkan: seorang pemimpin yang kuat mengadopsi langkah-langkah yang tidak demokratis untuk menegakkan pembangunan ekonomi.

“Jadi jangan bayangkan otoritarianisme dua dekade pasca Soeharto jatuh itu sama dengan otoritarianisme masa Soeharto. Itu beda, mulai dari cara, , partainya beda, dan model yang dikembangkan dalam strateginya pun beda, termasuk dalam menangguk keuntungan dalam proses-proses representasi formal ketatanegaraan,” bebernya.

Herlambang menuturkan, refleksi yang dapat ditangkap terkait wacana penundaan pemilu adalah bahwa hal itu perlu dijelaskan tidak hanya dari sudut pandang hukum semata, tapi juga pendekatan ekonomi politik yang mengatakan bahwa hukum ketatanegaraan disubordinasi oleh kepentingan kekuasan dominan, yang pada akhirnya justru memberi jalan kekuasaan yang kian otoriter dalam makna barunya (neo-authoritarianism politics)

“Lantas kenapa hal ini terjadi dan berulang? Karena memang situasi yang terjadi adalah terkonsolidasinya sistem kuasa oligarki melekat dalam representasi formal ketatanegaraan yang kian menguatkan sistem politik kartel (cartelized political system) sehingga melumpuhkan proses-proses demokratisasi dan negara hukum,” jelasnya.

Jadi, kata Herlambang, narasi usulan 3 periode dan penundaan pemilu bila diteruskan sesungguhnya kian menjelaskan relasi kuasa politik otoritarianisme dengan cara/watak hukumnya yang legalisme otokratik.

“Makna dari watak berhukum yang legalisme otoktaratis adalah dia tidak lagi memusingkan soal formal prosedurnya. Jadi pemikir tata negara (Yusril dan Agus-red) yang memberikan jalan itu, menurut saya itu hanya sebuah santapan atau sarapan yang paling dinikmati, karena diberi jalan oleh para ilmuan untuk menangguk keuntungan dari proses penundaan pemilu dan gagasan itu sebenarnya tidak memberi makana demokratisasi,” tegasnya.

Terkait hal itu, Herlambang mengatakan sebenarnya bangsa Indonesia sudah punya pengalaman kurang baik, misalnya saat Revisi UU KPK dan pengasahan UU Omnibuslaw.

“Itu memperlihatkan betapa ugal-ugalannya dalam proses pembentukan hukum, sehingga misalnya hari ini penundaan pemilu itu terjadi maka tanpa rasa keterkejutan sebenarnya ini adalah bagian dari krisis konstitusionalisme dan demokrasi politik.” tutupnya. (*)

Berita terkait:

Exit mobile version