TAJDID.ID || Tanggapan terhadap pernyataan kontroversial Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing terus bermunculan.
Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi Ali mengatakan semoga apa yang disampaikan Menteri Agama cuma salah komunikasi atau salah memberih contoh saja.
Pejabat, kata Shamsi Ali, pastinya tahu mengkomunikasikan masalah secara benar dan proporsional, apalagi terkait agama yang sangat sensitif.
Lebih lanjut Shamsi Ali menegaskan, bahwa suara adzan dan sholawat itu indah dan penuh makna, karenanya tidak pantas dicontohkan suara anjing.
“Gus Menteri, semoga ini salah komunikasi/salah memberi contoh saja. Pejabat pastinya tahu mengkomunikasikan masalah scr benar & proporsional. Apalagi kaitannya agama, tahu sendiri bisa sensitif. Suara azan & sholawat itu indah & penuh makna. Tdk pantas dicontohkan suara anjing,” tulis Shamsi Ali di akun twitter pribadinya @ShamsiAli2, Rabu (23/2).
Gus Menteri, semoga ini salah komunikasi/salah memberi contoh saja. Pejabat pastinya tahu mengkomunikasikan masalah scr benar & proporsional. Apalagi kaitannya agama, tahu sendiri bisa sensitif. Suara azan & sholawat itu indah & penuh makna. Tdk pantas dicontohkan suara anjing. pic.twitter.com/q7KUFButor
— Imam Shamsi Ali (@ShamsiAli2) February 23, 2022
Baca juga:
- Heboh! Jelaskan Aturan Pemakaian Toa Masjid, Yaqut Bandingkan Suara Adzan dengan Gonggongan Anjing
- Malas Komentari Yaqut, KH Cholil Nafis: Itu Bukan Soal Kinerja, Tapi Soal Kepantasan di Ruang Publik oleh Pejabat Publik
Seperti diketahui, belum lama ini, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Aturan ini kemudian menimbulkan polemik dan kritikan dari berbagai pihak.
Menanggapi kritik terhadap kebijakannya, Yaqut menyampaikan penjelasan bahwa pihaknya tidak melarang masjid dan mushala menggunakan toa.
“Soal aturan azan kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid, mushala menggunakan toa tidak, silahkan. Karena itu syiar agama Islam,” katanya di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu (23/2/2022).
Kendati demikian, Yaqut minta suara-suara toa diatur volumenya maksimal 100 dB (desibel). Selain itu dikatakannya waktu penggunaan sebelum dan sesudah adzn juga perlu diatur.
“Tetapi ini harus diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah adzan. Tidak ada pelarangan,” tegas Yaqut.
Menurut Yaqut aturan dibuat hanya untuk menciptakan rasa harmonis di lingkungan masyarakat. “Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan,” sebutnya.
Lebih lanjut Yaqut menilai suara-suara toa di masjid selama ini adalah bentuk syiar. Hanya saja, kata Yaqut, jika dinyalakan dalam waktu bersamaan akan menimbulkan gangguan.
“Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas Muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada mushala masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya,” katanya.
“Kita bayangkan lagi, saya Muslim, saya hidup di lingkungan non Muslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita non Muslim menghidupkan toa sehari 5 kali dengan kenceng-kenceng itu rasanya bagaimana,” imbuhnya.
Yaqut kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya adalah suara gonggongan anjing.
“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu komplek misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apapun suara itu harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di mushala, masjid silahkan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” katanya.
Yaqut kemudian meminta suara toa agar diatur waktunya. Sehingga niat untuk syiar tidak menimbulkan gangguan masyarakat. (*)