TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Tri Sakti, Azmi Syahputra, mengkritisi fenomena program Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cenderung “gimmick”, sehingga menimbulkan reaksi keresahan dan kritik tajam dalam masyarakat.
“Fenomena program yang cenderung gimmick merupakan hal yang sering dipertontonkan di panggung KPK sendiri belakangan ini. Tentunya perilaku ini cendrung akan membuat KPK mengalami kemerosotan, seolah menjadi sarana permainan, padahal masih banyak tugas urgent lainnya dari KPK,” ujar Azmi kepada TAJDID.ID, Ahad (20/2).
Menurut Azmi, KPK adalah institusi hukum yang strategis dan diandalkan, namun saat ini lembaga anti rasuah itu disinyalir telah digerogoti oleh perilaku dari oknum organnya sendiri,
Dari pada kampanye dan sosialisasi yang muatan dan kesannya lebih pada gimmick, menurut Azmi mestinya Ketua KPK lebih fokus pada beberapa kasus yang belum tuntas, misal kasus etik Komisioner Lili Pinta Ully yang beririsian peristiwanya dominasi dengan perbuatan pidana termasuk perbuatan kebohongan publiknya.
Selanjutnya kegagalan KPK terkait PR yang belum selesai oleh KPK mengenai kasus Kasus Harun Masiku yang sudah 2 tahun saat ini belum tertangkap, termasuk pula laporan rekening -rekening yang diduga bermasalah yang ditemukan PPATK atau BPK.
“Ini PR yang lebih urgent, kok masih belum tuntas di KPK. Seolah KPK mempertontonkan kegagalannya sendiri dalam menjaga penegakan hukum,” kata alumni Fakultas Hukum UMSU ini.
Lebih lanjut Azmi mengatakan, corruption related crimes yang juga dimaknai sebagai kejahatan-kejahatan lain yang terkait dengan korupsi, seperti kejahatan ekspor fiktif, pengiriman barang dengan memalsu dokumen dan dapat saja terjadi gratifikasi pada oknum pejabat, KPK semestinya dapat ungkap, berantas dan tangkap kejahatan ini.
Selain itu, termasuk atensi KPK lagi pada bidang kejahatan perpajakan serta kaitannya dengan proses perkembangan ekonomi, menurut Azmi disinilah fungsi utama ekssistensi KPK.
“Semestinya capaian KPK dapat lebih optimal di bidang pengungkapan kejahatan kejahatan karakteristiknya begini,” kata Azmi.
Azmi menilai, keadaan saat ini di KPK dapat menimbulkan tanda tanya publik sekaligus jadi tolok ukur indikator fase suatu kemunduran KPK yang menuju pelemahan dalam penegakan hukum, apalagi menurutnya keberadaan Dewas KPK diketahui tidak dapat maksimal dalam menerapkan fungsinya misal dalam kasus Lili Pintauli yang diputuskan melakukan pelanggaran etik yang berspektrum dominasi tindak pidana. Dalam hal ini, Azmi melihat Dewas KPK terkesan pasif, tidak menuntaskan persoalan.
“Ini merupakan penyelewengan dari fungsi Dewas bukan pula justru Dewas KPK menghindar ataupun melempar tanggungjawab kepada instansi lain,” sebutnya.
Apabila KPK dengan irama begini dibiarkan dan tidak menyadari segala konsekuensi dan implikasi dari bahaya pembiaran ini, Azmi khawatir KPK kedepan akan kurang optimal, malah menuju pada penyimpangan dan pembusukan organ KPK.
“Bila KPK bekerja setengah-setengah dan kurang optimal seperti ini, maka jangan salahkan kalau ada pikiran liar dari masyarakat yang beranggapan KPK lari dari tujuan, seolah-olah ada maksud untuk menunda, sengaja menghindari tidak mem-follow up kasus- kasus strategis yang jadi PR prioritas KPK. Akhirnya ada kesan KPK membeda-bedakan pelaku pelanggar hukum atau tebang pilih,” kata Azmi.
Untuk menyelamatkan KPK, Azmi mengatakan perlu usaha kesadaran bersama. Dijelaskannya, proses keterbukaan pada publik yang kini tidak dapat dihindari lagi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, termasuk dukungan media massa yang objektif dan bertanggungjawab.
“Karena pada akhirnya tujuan bangsa guna mewujudkan kemanusiaan dan keadilan. Itulah yang harus dimenangkan salah satunya melalui peran optimal lembaga KPK,” tutup Azmi. (*)