Politik Islamophobia
Gerakan nasionalisme yang menjalar di negara-negara mayoritas muslim, pra dan pasca Perang Dunia I dan II itu dapat dilihat dalam dua hal: pertama, kesadaran, pengakuan dan penegasan atas identitas nation serta perlawanan terhadap kolonialisme. Kedua, gerakan nasionalisme di negara-negara muslim tak mungkin terjadi bila tak didukung umat Islam. Dalam kasus Indonesia, sebelum Sukarno membacakan Proklamasi Indonesia, maka telah wafat para syuhada dari golongan ulama dan umat Islam. Bila ini ditarik lebih ke belakang lagi di masa penjajahan Belanda, maka mengatakan para syuhada itu berjuang atas nama sebuah negara dan bangsa yang bernama “Indonesia”, seperti yang sering diulang-ulang dalam stensilan sejarah adalah sebuah keanehan. Di mana dan apa sosok bernama “Indonesia” waktu itu? Pangeran Diponegoro di Mataram, Imam Bonjol di Minangkabau, Teuku Umar bagi Aceh, Sisingamangaraja bagi tanah Batak, dan seterusnya. Demikianlah, tanpa rintisan dan tetesan darah para syuhada ulama dan umat Islam ini, di manakah letak “nasionalisme Indonesia”?
Di sisi lain, sejarah juga menceritakan kalau nasionalisme telah menjadi ibu kandung bayi Turki yang sekuler. Demikian juga di Indonesia, saat ideologi Islam yang diusung para pendiri bangsa ini harus ikhlas menyaksikan kelahiran bayi Indonesia yang tak berdasar pada Islam. Tak berlebihan bila dikatakan kalau pengakuan terhadap Islam di negara nasionalis-sekuler, lebih dimungkinkan hanya karena untuk menaungi mayoritas agama yang ada di negara tersebut. Karena bagaimanapun, mengingkari agama para penduduknya, apalagi yang mayoritas, akan menjadi cacat terbesar dari ideologi nasionalis. Toh, itu memang merugikan.
Karena itu, perbincangan nasionalisme sepertinya akan mudah digiring berlawanan dengan doktrin keislaman. Padahal, doktrin heterogenitas suku, bangsa, ras, dan bahasa dalam Islam, berumur dan tertulis lebih tua dari siapapun yang pertama kali memproklamirkan nasionalisme. Jadi, mesti dibedakan antara nasionalisme sebagai “produk politik” dan nasionalisme sebagai salah satu bagian dari implementasi keislaman. Kalau ada yang melaga antara Islam dan nasionalisme, tandai saja: itu adalah kaum islamophobia. (*)
Sumber: Tukang Ngarang
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU