Oleh: Nirwansyah Putra
“…Istilah ‘Islam’, seperti yang sering digunakan sekarang, sekilas seperti sebuah hal sederhana saja, tapi pada kenyataannya merupakan bagian fiksi, label ideologis, penunjukan minimal dari sebuah agama yang disebut Islam. Tidak terlalu penting benar apakah telah terjadi korespondensi langsung antara istilah ‘Islam’ yang lazim digunakan di dunia Barat dengan variasi kehidupan yang sangat besar yang sedang terjadi di dalam dunia Islam, yang sekarang populasinya telah mencapai 800 juta orang (sekarang lebih 1,3 miliar), (menempati) jutaan mil persegi wilayah di Afrika dan Asia, puluhan kelompok masyarakat, negara, sejarah, geografi, kebudayaan. Di sisi lain, ‘Islam’ adalah suatu berita khusus yang menimbulkan trauma di Barat… Selama beberapa tahun terakhir ini, terutama karena peristiwa di Iran telah menarik perhatian Eropa dan Amerika dengan begitu kuat, media kemudian membahas pada Islam: mereka menggambarkannya, memberi karakteristik terhadapnya, dianalisis, membuat kursus singkat untuk membahasnya dan akhirnya membuat diri mereka ‘sudah tahu’”.
Kalimat di atas ditulis oleh Edward Wadie Said dalam Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1997). Said mengindikasikan kesenjangan informasi yang cukup menganga dan mendalam mengenai Islam walau dia telah diyakini dan dipraktekkan selama seribuan tahun lebih. Tapi, kita dapat saja menuduh Amerika dan Eropa dengan klaim pengetahuan dan sainsnya itu, telah sengaja dan tidak adil dalam meneropong, melihat, mendalami dan memelajari Islam, baik dari segi ajaran maupun umatnya.
Tuduhan seperti itu bisa diperkuat dengan catatan-catatan serius Barat mengenai Islam yang ditulis kelompok militer yang menjajah, usahawan yang berdagang, hingga ilmuwan yang menyebarluaskan penelitiannya selama ratusan tahun di negara-negara Islam, baik di jazirah Arabia, Afrika hingga Asia. Lihatlah informasi ini: Christiaan Snouck Hurgronje, salah seorang orientalis terkemuka, diketahui telah meminang seorang putri dari Indonesia, mempunyai empat orang anak dan kemudian mengubah namanya menjadi “Haji Abdoel Ghaffar”. Dia juga berhasil memasuki Makkah, walau setelah itu –berdasar atas suratnya kepada koleganya bernama Carl Bezold pada 18 February 1886– dia mengaku berpura-pura masuk Islam untuk kepentingan penyelidikannya. Diputar lebih ke belakang, perang Salib antara kekuasaan Islam-Kristen selama ratusan tahun sejak abad ke-11 silam, juga menjadi faktor terjadinya transfer informasi mengenai Islam dan kekuatan Eropa. Bagaimana mungkin Eropa tak mengeja Islam ketika dunia digenggam Islamic Golden Age?
Karena itu ketika disebut terjadi kesenjangan informasi yang begitu massif antara Eropa (Amerika Serikat pada dasarnya dibentuk oleh Eropa) terhadap Islam, sebenarnya frasa itu ditelaah ulang saja. Apalagi, ketika Amerika dan Eropa diklaim memelajari kembali Islam dan umat Islam di masa kini, kita dapat menduga ada raksasa keanehan yang disembunyikan di sana. Toh, peperangan antara Eropa terhadap Islam, bukan sekedar perang wacana, juga bukan hanya terjadi di masa modern hingga pasca Perang Dunia II. Jadi pada dasarnya, Eropa dan Amerika sangat paham seluk belum Islam dan umat Islam.
Tak heranlah ketika istilah “jihad” disandingkan dengan “fundamentalisme”, “radikalisme” dan lain-lain istilah yang bernada menyudutkan Islam, maka mudah diduga ada motif jahat yang berselubung. Juga ketika kekuasaan dan aparatur keamanan-pemerintahan di negara-negara yang mempunyai posisi tawar rendah terhadap Amerika dan Eropa, juga terjangkit virus aneh ini: Islam dinobatkan sebagai pesakitan, penjahat dan pemicu peperangan tiada akhir. Kita dapat saja membawa kasus global itu ke negara Indonesia, sebuah negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Ini virus aneh sekaligus sangat berbahaya dan mematikan.