TAJDID.ID~Jakarta || Dalam tindak pidana korupsi, biasanya dimana ada pelaku utama disitu ada pelaku pembantu.
Demikian dikatakan dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, ketika diminta penjelasannya terkait ditangkapnya Wawan Ridwan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bantaeng, Sulawesi Selatan oleh KPK(10/11) merupakan pengembangan kasus lanjutkan dari kasus suap yang di tangani KPK sebelumnya.
“Inilah rentetan atas sebuah kasus hukum, karena dalam tindak pidana korupsi dimana ada pelaku utama disitu ada pelaku pembantu,” ujar Alumni Fakultas Hukum UMSU ini, Kamis (11/11).
Karena itu, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini mengingatkan, pejabat yang korupsi jangan merasa aman, karena sewaktu-waktu ia dapat terjerat atas perbuatannya dan dimintai pertanggungjawaban hukum, karena perkara pelaku yang turut serta atau pembantu kejahatan termasuk dalam yurisdiksi yang sama dengan pelaku utamanya.
Menurut Azmi Syahputra, trend fenomena perbuatan pejabat dan pengusaha melalui suap ini semakin kronis, yang kejahatannya dikemas melalui sarana penyalahgunakan jabatan atau wewenangnya dengan menerima suap, apalagi pembayaran pajak dari perusahaan besar yang nilai pajaknya tinggi, yang jadi salah satu sumber mendapatkan uang bagi oknum pejabat pajak.
“Tentunya ini sangat memalukan dan bertentangan dengan kewajiban jabatannya,” tegas Azmi Syahputra.
Lebih lanjut Azmi Syahputra menjelaskan karakteristik perilaku kejahatan suap ini, dimana kejahatannya biasanya sudah ada keinginan yang sama dari masing-masing pihak dalam kapasitasnya sebagai pemberi dan penerima suap.
Jadi sudah terbentuk unsur perbuatannya sejak awal, karena sudah ada deal untuk tujuan sesuatu yang biasanya akan merugikan keuangan negara, dan pihak pihak yang terlibat di zona suap ini akan mendapatkan keuntungan secara pribadi.
“Disinilah inti perbuatan kejahatannya padahal pejabat tersebut sadar dan tahu hal tersebut bertentangan dengan jabatannya dan tahu akibatnya bila kasus itu terungkap,” kata Azmi Syahputra.
Dengan kejadian ini, kata Azmi, menunjukkan bahwa masih banyak pejabat yang tidak memahami makna perubahan dimana institusi telah melakukan transformasi, sehingga masih ada oknum pejabat yang berupaya cari celah dan mempertahankan budaya kerja dan perilaku yang murah dan mudah dengan cara terima suap untuk kepentingan pribadi maupun guna mendapatkan fasilitas seluas luasnya dengan cara curang.
“Pejabat yang seperti ini harus diamputasi (diberhentikan) dan dihukum maksimal karena tidak menjaga integritas diri dan nama baik insitusi,” tutup Azmi Syahputra. (*)