Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Wabah virus Wuhan atau dikenal dengan nama Covid-19 menguak konstelasi (keadaan/tatanan) ‘buruk’ kondisi kesehatan di Indonesia. Bagaimana tidak virus yang sudah berulang tahun ini tak kunjung sirna dari bumi pertiwi, bahkan tercatat peringkat Indonesia pada urutan ke-18 dari total 192 negara yang melaporkan kasus positif COVID-19 di dunia berdasarkan data statistik Johns Hopkins University Medicine.
Sementara menurut informasinya di kampung halamannya sendiri yakni Wuhan China tidak ada kasus baru terkait covid-19 ini.Sungguh prestasi yang harus diacungi jempol bila mengingat perjuangan China menanggulangi virusnya itu. Kondisi yang beda jika dilihat di negeri ini.
Memang harus diakui terdapat prestasi dalam penanggulangan covid-19, hanya saja masih jauh panggang dari api. Pandemi covid-19 menjadi momok yang menakutkan tatkala menjelang perayaan hari besar agama namun ‘dianggap tak berbahaya’ tatkala penyelenggaran pesta demokrasi.
Di India misalnya meskipun sebagai negara salah satu produsen vaksin covid terbesar di dunia nyatanya tidak menjadikan negara tersebut ‘aman’ dari ancaman corona.Berdasarkan data Worldometers per Jumat (7/5/2021), India mencatat 414.433 kasus infeksi dan 3.920 kematian baru dalam sehari sehingga totalnya menjadi 21.485.285 kasus infeksi dan 234.071 kematian. Akibat tingginya kasus infeksi baru, situasi corona di India kian parah.Banyak rumah sakit di negara bagian yang kekurangan oksigen karena tingginya angka penularan.
Lain halnya dengan Indonesia. Sekalipun vaksin produk anak bangsa (merah putih) tak kunjung menuai titik terang, keadaan corona di Indonesia ‘lebih aman daripada India.’Sebab Konstitusi Indonesia dengan tegas mengamanatkan pemenuhan hak atas kesehatan bagi rakyat Indonesia, namun kondisi di lapangan kekhawatiran pemerintah atas lemahnya pelayanan kesehatan.
Pemenuhan hak atas kesehatan termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) serta (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 28H ayat (1) mengatakan, “Setiap orang memiliki hak hidup sejahtera lahir serta batin, berada tinggal, serta memperoleh lingkungan hidup yang baik serta sehat dan memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan”.Seterusnya Pasal 34 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan”.
Selanjutnya, Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatakan, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.”Ironinya bak kotak Pandora wabah covid-19 menunjukkan Beberapa rumah sakit yang ditunjuk pemerintah untuk menangani wabah virus corona kini menjadi sorotan publik.Bukan karena pelayanannya yang memuaskan, melainkan karena fasilitas yang kurang memadai.
Sejauh ini terkait dengan upaya untuk menanggulangi virus corona, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang diundangkan tanggal 8 Agustus 2018. Dengan mengacu kepada undang-undang tersebut, maka langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 yakni “bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.
Terkait hal tersebut, Presiden telah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat (Kepres 11/2020) dan juga mengeluarkan aturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP 21/2020). Begitu pula dengan beragam kebijakan terkait anggaran penanggulangan covid yang dapat menjadikan ‘sasaran empuk’ pusaran korupsi karena dihilangkannya pertanggungjawaban pidana, perdata maupun TUN terahadap pengelola anggaran.Untuk itu pergunakan hukuman maksimum terhadap potensi korupsi di sektor bencana sebagai pilihan efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Sebelumnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) tanggal 13 Oktober 2009 merupakan perwujudan amanah konstitusi Indonesia. UU Kesehatan menerangkan jika kesehatan adalah hak bersifat dasar tiap individu.Pemerintah bertanggungjawab untuk mengaturderajat hidup yang sehat terhadap semua rakyat Indonesia.UU Kesehatan memperjelas bahwa pribadi orang, keluarga, hingga masyarakat mendapatkanproteksi hak atas kesehatannya.
Sementara itu, pemerintah bertanggungjawab untuk mengatur supaya bisa memberikan kebutuhan hak hidup sehat untuk rakyatnya baik orang yang tidak berkemampuan atau orang yang miskin.Untuk mewujudkan pemenuhan hak itu, pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan rata, adil, serta dapat dijangkau untuk semua rakyat Indonesia.Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan beberapa usaha untuk menjamin diperolehnya akses pelayanan kesehatan untuksegenap warga negara Indonesia.
Bagaimanapun, hak atas kesehatan menjadi hak mendasar yang terdapat dalam konstitusi Indonesia. Implementasi hak atas kesehatan merupakan legal rightsyang harus mendapat perlindungan. Pemerintah mesti menunaikan hak atas kesehatan rakyatnya secara nyata.Pengingkaran untuk merealisasikan hak atas kesehatan rakyat merupakan perbuatan yang melanggar UUD NRI Tahun 1945. Sebab, hak atas kesehatan sebagai hak bersifat dasar bagi seluruh rakyat yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945.Komitmen perlunya jaminan hak atas kesehatan merupakan dasar pemikiran hukum kemartabatan manusia.Tegasnya, kesehatan merupakan hak fundamental setiap manusia.Sementara pemerintah berkewajiban merealisasikan kepentingan rakyat agar dapat ditunaikan hak hidup sehatnya.
Kontelasi kesehatan diwaktu wabah covid-19 tidak hanya menunjukkan keadaan fasilitas kesehatan yang kurang memadai tetapi juga dana insentif untuk tenaga kesehatan (nakes) sebagai garda terdepan dalam menanggulangi corona tak kunjung cair. Padahal Anggaran kesehatan 2021 yang awalnya adialokasikan sebanyak Rp169 Triliun, kemudian ditambah hingga mencapai 254 triliun rupiah mengingat perkembangan COVID-19 yang masih sangat dinamis.
Akan tetapi dana insentif itu belum 100 % diterima oleh para tenaga kesehatan yang berjuang menangani covid-19. Mungkin banyak hal yang menjadi penyebab lambannya pencairan dana insentif namun harusnya bila pemerintah sungguh-sungguh menanggulangi covid-19 keadaan ini dapat diantisipasi.Apalagi jika mengingat banyaknya nakes yang gugur sewaktu bertugas.
Kontelasi kesehatan saat wabah Corona yang tidak kalah menggemparkan beberapa hari terakhir ini adalah terkait daur ulang alat pendeteksi virus corona atau pengguna rapid test antigen di laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu. Kejadian dzalim itu secara nyata adalah bentuk pelanggaran terhadap UU Kesehatan sebagaimana Pasal Pasal 98 ayat (3) Jo Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan dan mutu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu jeratan Pasal 8 huruf (b), (d) dan (e) Jo Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(UU PK) yang berisi larangan terhadap pelaku usaha yang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp2 miliar juga tak dapat dihindari.
Kejadian temuan daur ulang penggunaan alat rapid test antigen daur ulang berupa swab stick/cutton bud di laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu diduga sudah berlangsung sejak 17 Desember 2020.
Dan yang lebih mencengangkan, terdapat setidaknya 37.500 orang yang sudah menjalani rapid test antigen di laboratorium tersebut. Angka itu diperoleh dari temuan petugas bahwa setiap hari terdapat sekitar 250 orang calon penumpang pesawat yang memeriksakan diri di lab itu.
Bila jumlah itu dikalikan dengan jumlah hari selama lima bulan, maka terdapat setidaknya 37.500 orang yang sudah menjalani rapid test antigen di lab tersebut.layanan rapid test antigen di Bandara Kualanamu dioperasikan oleh PT Kimia Farma Diagnostik selaku cucu perusahaan dari KAEF(PT. Kimia Farma Tbk). Atas kejadian penyalahgunaan alat rapid test antigen tersebut, pihak kepolisian menangkap setidaknya 5 orang tersangka, namun tidak ada informasi lebih lanjut terkait pertanggungjawaban korporasi Kimia Farma padahal semestinya korporasi Kimia Farma bertanggungjawab karena menghasilkan alat rapid tersebut.
Bila melihat konsep pertanggungjawaban mutlak (strictliability), telah terjadi dampak ancaman serius bagi kesehatan manusia.Tentu saja menimbulkan kerugian bagi orang yang melakukan tes di unit laboratorium Kimia Farma.Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) itu sendiri dapat diartikan bahwa pelaku usaha harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability) merupakan prinsip tanggung jawab yang tidakdidasarkan pada aspek kesalahan (fault/negligence) dan hubungan kontrak (privity of contract), tetapi didasarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Dikatakan bahwa tujuan utama dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen.
Prinsip tanggung jawab produk dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) merupakan modifikasi prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Substansi hukum perlindungan konsumen secara Internasional mengalami perubahan dari hukum yang berkarakteristik represif, dalam bentuk prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) ke prinsip tanggung jawab yang berpihak atau responsif terhadap kepentingan konsumen dalam bentuk tanggung jawab mutlak (strict liability).
Adapun dalam UUPK terdapat 2 (dua) Pasal yang menggambarkan secara implisit (strict liability)yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23 UUPK. Pasal 19 UUPK merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:a. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atas diperdagangkan, b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Persoalan daur ulang antigen bekas di Bandara Kualanamu beberapa waktu lalu adalah persoalan serius.Sanksi atas abainya pengawasan dari pimpinan tertinggi korporasi tidak hanya sebatas pemecatan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja. Sebab persoalan ini tidak hanya berjibaku terkait pelanggaran semangat good corporate governance yakni pelanggaran core value di antaranya amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif.
Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan perbuatan yang semestinya diawasi pimpinan PT Kimia Farma, termasuk penanggung jawab laboratorium maupun perusahaan secara global yang tak boleh abai. Namun kondisinya saat ini dugaan jeratan atau sanksi diberlakukan hanya untuk organnya saja itupun masih sebatas penetapan lima orang tersangka, padahal kejadian ini merupakan kejadian yang massif dan terstruktur. Sehingga jeratan sanksi seharunya menggunakan aturan turut serta (Pasal 55 dan 56 KUHP).
Penulis adalah Doktor Hukum dengan Pujian (Summa Cumlaude) dari USU, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut Bidang Hukum dan HAM.