Ketujuh, Obral
Mengapa ada orang yang bukan akademisi bergelar Profesor?
Suatu ketika saya diberitahu oleh seorang Kepala Daerah: “Pak Regar, saya sudah meraih gelar doktor saya”. Saya sangat tersinggung, tetapi saya diam saja.
Karena saya tak beri respon, diulanginya lagi. Saya jawab: “Industri ijazah kampus mana yang beri gelar itu kepada bapak?”
Ia agak marah. Tetapi saya lebih marah lagi. Saya bisa buktikan dalam dua jam saat Anda seharusnya berada di kelas yang diasuh oleh Prof Lokot Lengket Menempel Siregar, SH, MH, M.Hum, video dan berita tercetak memberitakan bapak sedang berseremoni di sebuah desa bersama komunitas petani untuk pencitraan. Jika dihitung presensi bapak di kelas, sebetulnya bapak tak berhak ujian sejak semester pertama dan sebetulnya otomatis drop out. Tetapi hal begini kan sudah termasuk dalam kesepakatan agen yang membawa bapak ke proses enrolment tempohari?
Hingga tahun 1980-an birokrasi Indonesia lebih sedikit diisi oleh sumberdaya bergelar doktor ketimbang birokrasi kolonial pada dekade-dekade terakhirnya sebelum pergi dari sini. Semua mereka doktor betulan yang terselekti dan terus mampu membuat analisis yang kini masih dapat kita akses pada jalur maya.
Jadi jika politisi seperti bapak tiba-tiba menjadi doktor, saya tak hanya menggugat bapak. Tetapi juga kampus itu dan sejumlah guru besar yang bapak kenal dan mengenal Bapak secara baik sebagai orang yang tak memiliki prasyarat akademik untuk gelar itu.
Ada harapan beroleh insentif kelembagaan kampus dan pribadi dari cara-cara seperti itu, termasuk dengan pengukuhan jabatan guru besar biasa dan luar biasa bagi orang yang semua kalangan tahu kapasitasnya sangat-sangat dan sangat jauh dari layak bahkan untuk gelar setara strata 1.
Bertambahlah duka akademik Indonesia karena itu, dan itu jangan bilang duka pribadi saya. Bukan. (*)
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS).