Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Seseroang yang saya sering panggil Tuan Guru, berprofesi dosen, di Medan, kemaren menumpangkan keresahannya melalui sebuah pikiran seseorang yang diterbitkan oleh media. Ini soal perguruan tinggi. Soal guru besar. Soal masa pensiun dosen.
Ia membincangkan sebuah tulisan berjudul “Hentikan Pemberian Gelar “Professor” yang Bukan Profesi Dosen” yang ditulis Dr. Apendi Arsyad.
Banyak beroleh komentar. Saya lihat tak semua lurus. Di antara ketidaklurusan komentar yang masuk itu, saya hanya tertarik memberi komentar terhadap salah satunya demikian:
“Tak pula boleh disamaratakan kan? haha. Saya kenal tak sedikit guru besar sejati yang kesejatiannya didasarkan pada nilai integritas akademik ilmiah yang sangat teguh. haha”.
Keikut-nimbrungan saya dalam diskusi itu khusus menyoroti beberapa yang saya anggap belum dibuat clear:
Pertama, Soal Usia pensiun
Tuan Guru Noor bilang bahwa dibanding beberapa negara tetangga, usia pensiun dosen Indonesia itu lebih tua. Dari persepsi apa itu disebut keberuntungan oleh kita di sini dan keberuntungan oleh orang di negara lain? Itu bisa dijawab dengan baik, tentu saja.
Saya memberi tipikal hasrat kedosenan di Indonesia. Rasanya usia pensiun itu sudah perlu ditinjau kembali, atau dibikin lebih fleksible. Pertimbangannya, ada dampak pertambahan usia harapan hidup setelah 76 tahun merdeka.
Misalnya, usia pensiun tetap 65 tahun dan menjelang batas waktu itu setiap dosen diberi hak untuk memperpanjang menjadi 70 tahun. Artinya ada orang merasa ingin berhenti pada usia 65 tahun, dipersilakan.
Pekerjaan dosen bukan jenis pekerjaan fisik, karena itu untuk ukuran saat ini usia 65 tahun terasa terlalu muda untuk pensiun bagi profesi ini.
Pertanyaannya, jika mereka tak pensiun apakah ada penumpukan antrian orang muda yang ingin menjadi dosen tetapi ditolak karena perimbangan jumlah yang belum pensiun dengan posisi yang ada masih sangat ideal?
Saya kira tidak begitu. Mungkin seratus tahun lagi ke depan baru analisis serupa itu relevan.
Guru besar pensiun 70 tahun saat ini menurut saya adalah lebih sebagai sebuah pengecualian belaka. Mengapa? Karena diasumsikan jumlah mereka sangat terbatas, karena itu dengan ukuran formal (doktor, profesor) dipandang lebih memiliki kapasitas yang dampak kehadirannya untuk interaksi akademik otomatis lebih besar dibanding yang bukan guru besar.