Keempat, Kesejawatan yang Menjajah
Suatu ketika, dulu, seorang dosen dipanggil untuk semacam diklat. Kepesertaannya dipandang berdasarkan kepangkatannya. Ia hadir. Sebelum forum dimulai, ia ajak berdebat perencana forum yang mengudangnya. Jika inilah jenis diklatnya, dan jika inilah materi diklatnya, maka saya adalah pakar paling kompeten di Indonesia untuk hal ini, saat ini”. Dia ahli dalam bidang Social Work.
Kepangkatan dipandang otomatis sebagai pertanda kualitas dan kwalifikasi kapasitas. Itu kesalahan besar, sebuah penjejangan yang tak sehat dan kerap menyembunyikan orang tak memiliki kapasitas menjadi pakar hanya karena didongkrak oleh orang-orang berpagkat lebih rendah yang diharuskan mengabdi kepadanya.
Kelima, Organisasi Perguruan Tinggi
Jabatan itu bukan hanya gambaran otoritas (politik dan kebijakan) dan kewenangan. Tetapi juga kesempatan luas (tentu termasuk untuk korupsi). Karena itu mengejar jabatan-jabatan di perguruan tinggi adalah pertarungan yang merontokkan nilai akademik yang terus dicintai.
Jakarta menyenangi itu dan pula ingin mengkapitalisasinya menjadi instrumen politik. Maka ia pun bikin regulasi “kalian tak boleh, tak tahu dan tak mampu memilih pemimpin kalian. Aku yang harus menentukan. Pilihlah di sana, sebatas suara kurang lebih 70 % dukungan. Sekitar kurang lebih 30 % suara penentuan akhir ada pada aku.
Tidak ada peluang perguruan tinggi berfikir sehat dan berbudaya kerja sehat dengan iklim ini.
Keenam, Ciptakan Kekebasan Sendiri
Garang sekali orang bicara tentang Wolrd Class University. Gagasan itu berasal dari instrumen kolonialisme bersayap, yakni konsep world competitiveness. World competitiveness? Haha, gila. Nadeim Makarim dihadapkan dengan Mike Tyson di ring tinju. Hitunglah berapa detik kebertahanan Nadim Makarim sebelum tersungkur dengan jab Mike Tyson.
Tentu analogi itu sedikit dilebih-lebihkan. Tetapi sadarlah, lokal, nasional dan pembebasan selalu dan selalu berurusan dengan masalah penindasan struktural.
Ada, saya tahu, teman yang direkrut di lembaga tentang keindonesiaan di luar negeri, berbasis kampus atau bukan. Kelihatannya orang kita ini beruntung, dan bangsa kita ini beruntung dengan proyek itu. Haha. Itu resep saja untuk melanggengkan penjajahan itu selamanya.
Kita butuh teriakan keras tentang open science. Kebebasan mimbar akademik dan komunikasi akademik ilmiah taklah harus tunduk pada format dan kemauan negara-negara besar yang kebudayaan akademiknya berabad di depan kita dan relatif berbeda kebutuhan.
Bukan tidak perlu mengetahui secara detil apa yang dilakukan oleh Harvard, misalnya, dalam pola dan sepak terjang akademiknya. Tetapi berangan-angan setara dengannya terasa ada saraf yang putus. Kemana orientasi akademik kita? Lebih baguslah ke dalam.
Bebaskan semua orang dari biaya pendidikan sejak TK hingga s2 berkali-kali, dan S3 berkali-kali. Ayo kita hitung biayanya agar kita tak mudah percaya alasan-alasan artifisial yang selalu diajukan untuk menyembunyikan penghindaran dari kewajiban imperatif yang ditegaskan oleh UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945: Memadjoekan kesedjahteraan omoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa” dan seterusnya.
Konstitusi sebetulnya sudah mewajibkan Indonesia mengalokasikan 20 % biaya untuk pendidikan secara nasional (APBN) dan secara lokal (APBD). Hanya saja pemerintah dan elit kita masih perlu diajak diskusi secara filosofis apa yang dimaksud dengan pendidikan. Karena dalam pertanggungjawaban anggaran selalu saja terlihat upgrading staf instansi pemerintahan dianggap pembiayaan pendidikan. Bukan itu yang dimaksudkan oleh konstitusi.