Peran Komunikasi dan Budaya
Menurut Rudianto, hambatan-hambatan untuk menerima informasi kesehatan adalah persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia, terlebih dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19.
“Karena itu, menurut saya disinilah komunikasi dan budaya berperan penting untuk meminimalisir kesenjangan antara publik dan dunia kesehatan,” tukasnya.
Terkait hal ini, Rudianto menuturkan sebuah kasus yang menjadi berita heboh baru-baru ini di kota Medan, yakni tentang pasien Covid-19 yang ditagih oleh sebuah RS swasta di atas 450 juta rupiah.
“Ini menjadi problem, kita tidak tahu apakah memang masyarakaat yang datang ke RS itu ketika di awal paham apakah semua RS ditanggung pemeritah kalau mereka kena Covid. Atau memang sudah ada diskusi, tapi masyarakat yang datang itu tidak paham, sehingga kemudia harus menerima kenyataan. Pastinya, tentu itu tidak murah, karena di sisi lain ada tetangganya yang sembuh dengan obat panadol yang harganya cuma 8000 rupiah,” kata Rudianto.
Jadi, kata Rudianto, yang bisa mendekatkan problem dunia kesehatan dengan masyarakat yang butuh kesehatan adalah komunikasi dan budaya, seperti yang panjang lebar dan mendalam dikupas dalam buku Komunikasi Kesehatan Pendekatan Antarbudaya karya Prof Deddy Mulyana dan Dr Leila Mona Ganiem.
Secara khusus Rudianto mengapresiasi penerbitan buku tersebut. Menurutnya, isi buku itu sangat komunikatif, subtantif, komprehensif-teoritik-praksis, imajinatif dan inspiratif.
“Substansi dari buku ini sangat luar biasa. Saya yang bukan berlatar ilmu kesehatan saja ketika membaca buku ini mendapatkan banyak sekali ilmu dan pengetahuan baru tentang bidang kesehatan. Maka, tidak berlebihan jika saya katakan ini adalah salahsatu buku komunikasi kesehatan terlengkap yang memadukan secara komprehensif antara teori-teori komunikasi dan teori-teori kesehatan, serta juga praktik-praktik dalam bidang komunikasi dan bidang kesehatan,” tuturnya.
Baca Juga:
- Pascasarjana UMSU Gelar Seminar Nasional Komunikasi Kesehatan
- Prof Deddy Mulyana: Tenaga Medis Profesional Harus Miliki Keterampilan Komunikasi
- Leila Mona Ganiem: Komunikasi adalah Jantung dan Seni Kesehatan
Selanjutnya ia juga menyinggung soal wabah Covid-19 yang menjadi problem kesehatan Trans System Social Ruptures (TSSR) dengan ciri penyebarannya ke seluruh penjuru dunia dengan cepat, tidak jelas asal-muasalnya dan potensi korbannya dalam jumlah besar.
“Covid-19 tidak pandang bulu, tak peduli kelompok, negara, agama, budaya apa, semua mau tak mau harus beradaptasi dan berupaya mengatasinya. Problemnya masyarakat kita yang mengandalkan nilai-nilai kolektivitas ketimuran ternyata tidak berdaya ketika menghadapi gempuran covid-19. Solusi kumunitas lokal dan parsial tidak memadai dalam penanganan bencana Pandemi Covid-19. TSSR mensyaratkan herd-immunity harus menyeluruh, tidak hanya pada satu daerah, satu wilayah dan satu negara, tapi seluruh dunia,” jelasnya.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Menurut Rudianto, ini adalah persoalan yang harus dipecahkan oleh dunia kesehatan dan komunikasi, dimaana perubahan budaya sangat cepat akibat bencana pandemi covid-19
Dulu, kata Rudianto, sebelum wabah Covid-19 melanda, masyarakat kita dalam menghadapi penyakit atau bencana sangat mengandalakan nilai-nilai budaya sepert gotong-royong, kolektivitas, saling jenguk untuk saling bantu. Tapi ketika Covid-19 muncul hal itu sepertinya tidak cukup bisa diandalakan lagi.
“Disinilah pentingnya komunikasi antarbudaya dibangun, jika sebelumnya berbasis lokal menjadi komunikasi antar budaya yang berbasis global yang sama dan setara,” sebutnya.