TAJDID.ID~Medan || Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Prof Deddy Mulyana MA PhD mengatakan, komunikasi adalah keterampilan pertama dan utama yang harus dimiliki serta dikuasi oleh tenaga medis profesional.
Hal tersebut ditegaskannya saat tampil sebagai narasumber pada acara Seminar Nasional dengan tema “Teori Komunikasi dalam Prevensi, Promosi, dan Strategi Pengambilan Kebijakan dengan Pendekatan Antarbudaya” yang diadakan Pogram Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan Pranada Media Group, Kamis (2/9/2021).
Baca Juga: Pascasarjana UMSU Gelar Seminar Nasional Komunikasi Kesehatan
Dalam prolognya, penulis buku “Komunikasi kesehatan: Pendekatan Antarbudaya” ini menjelaskan kronologi pandemi Covid-19 di Indonesia.
Ia menuturkan, awalnya diprediksi pandemi Covid-19 mencapai puncaknya akhir April 2020 dan akan berakhir pada pertengan Mei 2020. Namun sejak itu, sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 berlangsung, bahkan semakin parah dan belum tahu kapan akan berakhir.
“Kecenderungan pandemi yang makin parah ini sebenarnya terkait dengan komunikasi, cara kita berkomunikasi, dan juga terkait dengan budaya masyarakat kita, terutama nilai budaya kolektivisme, dimana masyarakat kita selama ini memiliki tradisi yang gemar dan senang berkumpul dalam berbagai acara,” jelas Deddy.
Menurut Deddy, bagaimanapun baiknya kebijakan yang dibuat terkait penangan pandemi Covid-19, kalau tidak ada upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas komunikasi, maka kebijakan itu akan sia-sia.
“Sebagai contoh, terkait sosialisasi protokol kesehatan di berbagai daerah adalah salahsatunya merancang prokes itu dengan bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat setempat,” sebutnya.
Lebih lanjut, Deddy juga menyoroti persoalan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayaan kesehatan dalam negeri. Hal itu ditandai dengan banyaknya masyarakt Indonesia yang lebih memilih berobat ke luar negeri ketimbang di dalam negeri.
“Setiap tahun diperkirakan 1 juta orang Indonesia pergi ke luar negeri untuk berobat, khususnya Malaysia dan Singapura. Alasannya bukan karena dokter Indonesia kurang kompeten, tapi karena mereka kurang terampil berkomunikasi dengan pasien,” ungkapnya.
Mengutip pernyataan dr Wimpie Pangkaahila, Deddy mengatakan, bahwa komuniksi sebagai inti pekerjaan dokter (kepandaian nomor dua) justru belum banyak dipraktikkan. Padahal 60 persen pasien hanya mengalami kelainan fungsional dan 40 persen yang benar-benar sakit; serta 20 persen bisa sembuh sendiri.
“Komunikasi adalah keterampilan pertama dan utama yang harus dikuasi oleh tenaga medis profesional. Komunikasi efektif profesional medis sangat penting untuk menyembuhkan keadaan sakit pasien,” tegasnya.
Ia juga memeberkan hasil sebuah studi di Amerika Serikat yang meneliti tentang kualitas komunikasi dokter saat berinteraksi dengan pasien. Studi itu melaporkan, saat berkomunikasi dengan dokter, hanya 23 persen pasien punya kesempatan menuntaskan penjelasannya. Dalam 69 persen kunjugan pasien dokter melakukan interupsi, mengarahkan pasien kepada suatu penyakit tertentu. Kemudian hanya 18 detik setelah pasien mereka bicara, rata-rata dokter memotong pembicaraan.
Menurutnya, hasil penelitian ini menarik untuk dicermati, sebab keberadaan dokter di negara sedemokratis Amerika saja menunjukkan pola komunikasi yang cenderung top-down, selalu mendominasi percakapan dan kurang mendengar pasien.
“Itu di Amerika, coba bayangkan di Indonesia yang masyarakatnya paternalistik — untuk tidak mengatakan feodalistik– saya menduga dokter-dokter kita cara berkomunikasinya dengan pasien itu bisajadi lebi parah lagi dibanding yang terjadi di negara-negara Barat,” tukasnya.
“Pada hal, hikmah Tuhan menciptakan manusia punya dua telinga dan satu mulut adalah agar manusia itu, apapun profesinya, termasuk dokter dan juga pemimpin, lebih banyak mendengar dari pada berbicara,”imbunya.
Deddy menyebutkan, secara umum jarak status sosial antara dokter dan pasien di Indonesia itu sangat lebar. Ia mengutip laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 yang menyebutkan, bahwa32 persen penduduk Indonesia melakukan pengobatan ritual, 22, 3 persen pengobatan herbal dan ada 280.000 pengobatan tradisional dengan 30 keahlian di Indonesia.
“Data ini menunjukkan, bahwa dokter medis yang berbasis ilmiah perannya kurang signifikan,” katanya.
Karena itu, ia menyarankan agar para profesional tenaga kesehatan untuk memperbaiki kualitas komunikasinya.
“Dalam konsep komunikasi kesehatan yang ideal, akan lebih masuk akal jika orang yang berposisi di atas (dokter dan tenaga keshatan) menyesuaikan diri dengan yang berposisi di bawah (pasien),” tegasnya. (*)