TAJDID.ID~Jakarta || Pakar Hukum Pidana, Azmi Syahputra menyoroti putusan Pengadilan Tinggi (PT) Banten menganulir hukuman mati yang dijatuhkan kepada bandar sabu, Bashir Ahmed (WNA asal Pakistan) dan Adel (WNA asal Yaman) menjadi 20 tahun penjara. Keduanya adalah pemilik sabu 821 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan.
Dengan putusan itu, Azmi menilai hakim tidak mendukung upaya pemberantasan narkoba, karna sudah jelas terdakwa sebagai bandar sekaligus pengedar. Bahkan ia menyebut, ada kesan hakim asal mengubah putusan pidana terdakwa.
“Padahal sanksi menjerakan berupa hukuman mati paling pantas bagi penyebar barang perusak masyarakat ini,” ujar Azmi yang juga merupakan dosen Hukum Pidana Universitas Tri Sakti ini kepada TAJDID.ID, Senin (28/6).
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) mengungkapkan, ada tren perubahan putusan Majelis Hakim Banding setelah putusan Hakim Pengadilan Tinggi DKI dalam Kasus Jaksa Pinangki dan kini berlanjut terjadi pada majelis hakim Pengadilan Tinggi Banten.
Ia mengatakan bahwa majelis hakim Pengadilan Tinggi keliru mengartikan dan menerapkan Pasal 241 KUHAP.
“Pasal 241 KUHAP harus diikuti dengan persyaratan oleh hakim, jadi tidak bisa ditafsirkan secara bias oleh hakim, apalagi jika hanya ketidaksetujuan terkait pemidanaan. Artinya hakim di tingkat banding menggeser makna perbuatan ,fakta hukum, alat bukti, keadaan termasuk nilai keyakinan hakim dalam membuat pertimbangan hukumnya telah lari dari tujuan hukum pidana (vide Pasal 197 huruf d KUHAP),” jelasnya.

Ditegaskannya, Pasal 241 KUHAP baru bisa dilakukan jika semua hal dalam pemeriksaan hakim banding menemukan ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau kurang lengkap baru Pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri.
Jadi, kata Azmi, tolok ukurnya lihat apa alasan fakta keadaan dan argumentasi hukum dalam pertimbangkan hukumnya dimana yang terjadi hakim banding cendrung setuju dengan pertimbangan hukum pengadilan negeri terkait fakta, unsur, alat bukti dianggap mempunyai nilai kekuatan pembuktian, dimana pada praktiknya pengadilan tinggi hanya tidak sepakat tentang penjatuhan hukuman pidana dan lamanya masa pidana ,
“Ini kan kontradiktif. Padahal fakta diakui, bukti diakui, pertimbangan hukum hakim pengadilan negeri diakui, lantas kemudian yang diambil hanya tidak sepakat dengan lama hukuman atau jenis hukuman,” kata Azmi.
Selain itu, lanjut Azmi, semestinya pengurangan hukuman pada tingkat banding itu dipilah dengan matang, dilihat dulu oleh majelis pada bobot dan kualitas tindak pidananya dan dampak dari perbuatannya, bukan asal mendiskon hukuman untuk ubah putusan.
Karenanya dalam menjaga kualitas penegakan hukum, menurut Azmi hakim harus mampu mengharmonisasi keadilan dan kepastian hukum, mengingat kekuasaan kehakiman itu kekuasan negara yang merdeka, bebas dari campurtangan pihak kekuasaan atau pihak manapun, sehingga putusannya harus mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia karena dalam kasus ini Jaksa harus melakukan kasasi.
Apalagi, lanjut dia mengingat Reformasi hukum pidana dalam UU Narkoba tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia yang menuntut tindakan dan kebijakan antisipastif.
“Karena diketahui perbuatan pengedaran narkoba jelas merupakan perbuatan amoral, perilaku menimpang yang merugikan kepentingan masyarakat dan dan membawa kerusakan pada masyarakat ,” tutupnya. (*)