TAJDID.ID~Medan || Pemerhati sosial politik FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, status ketersangkaan yang disematkan kepada Walikota Tanjungbalai harusnya menjadi batal demi hukum, karena belakangan diketahui bahwa integritas “otoritas hukum” yang mentersangkakannya terpaksa diragukan 100 persen.
“Proses pentersangkaan itu pastilah bukan proses hukum yang benar, dan harusnya KPK malu mempertahankan hasil proses pentersangkaan semacam itu,” ujar Shohib kepada tajdid.id di Medan, Jum’at (23/4).
“KPK pun wajib mampu menunjukkan praktik hukum yang berintegritas kepada sesama lembaga penegak hukum, khususnya Kepolisian dan Kejaksaan, apalagi kepada rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Shohib menilai, amat terasa janggal, dan ketersangkaan seperti ini hanya bisa dan dapat dipandang wajar di negara otoriter yang sama sekali tak merasa perlu mengindahkan hukum dan keadilan.
Dikatakannya, kejanggalan yang mencoreng wajah KPK ini pun pasti akan menjadi tertawaan dunia, karena secara terang-terangan memisahkan proses pentersangkaan Wali Kota Tanjungbalai dengan praktik obuse of power.
Shohib menegaskan, tidak mungkin hasil sebuah praktik obuse of power bisa diterima menjadi solusi permasalahan hukum di Indonesia yang di dalam konstitusinya dinyatakan sebagai negara hukum (bukan negara kekuasaan).
“Berapa pun bukti yang diklaim sudah dipegang oleh KPK untuk status ketersangkaan Walikota Tanjungbalai, secara hukum harus dianggap sebagai hasil dari sebuah niat jahat melalui pemerkosaan hukum yang sangat anti integritas,” kata Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
Dewan Pengawas KPK
Shohib menjelaskan, tahun pertama (2020) setelah revisi UU KPK, perangkat Dewan Pengawas yang diciptakan di dalam tubuh KPK telah menyatakan ratusan bentuk dan atau frekuensi kejadian deviasi dalam pelaksanaan tugas KPK, yang di antaranya termasuk yang berksitsn masalah integritas. Dewan Pengawas KPK menghabiskan dana yang besar untuk pelaksanaan fungsi pengawasan yang menghasilkan data yang masih amat miskin itu.
Untuk mengantisipasi praktik deviatif yang potensinya amat luas (termasuk seperti dalam kasus Tanjungbalai) itulah antara lain KPK itu sangat perlu diawasi oleh sebuah Dewan Pengawas yang dinyatakan dalam UU No 19 Tahun 2019.
“Demi keadilan hukum dan praktik hukum yang berintegritas, maka Dewan Pengawas harus berani menyatakan pembatalan status ketersangkaan Wali Kota Tanjungbalai,” tukasnya.
Shohib menyebut, rakyat tidak akan dapat memahami dan tidak akan dapat menerima jika KPK berdalih bahwa ketersangkaan Walikota Tanjungbalai dilakukan secara objektif.
“Dewan Pengawas KPK juga wajib mengembangkan kasus ini seluas-luasnya agar tak secara simplistis kelak hanya dihentikan pada sebuah nama belaka,” katanya.
Mundur dari Jabatan
Menurut Shohib, keterampilan memberantas korupsi sebetulnya bukan dominasi sebuah lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan rakyat jelata sekalipun terampil membersntas korupsi.
Hanya saja, kata Shohib, sesusi undang-undang, otoritas itu hanya diberikan kepada lembaga tertentu dan dengan demikian dapat mengerem obsesi rakyat dalam melakukan praktik street justice (main hakim sendiri di lapangan).
Karena itu bobot moral dan integritas pelaksanan tugas menjadi begitu menonjol dalam lembaga penegakan hukum terutama lembaga khusus seperti KPK yang oleh undangundang ditinggikan seranting di antara sesama lembaga yang bertugas pada bidang yang sama.
Karena itu, lanjut Shohib, terasa bahwa bagi Ketua KPK kejadian ini jelas menjadi sebuah momentum evaluasi diri. Shohib menilai ia (Ketua KPK) tak dikehendaki oleh siapa pun, apalagi keadilan hukum, melakukan apologi dengan mengatakan ‘KPK tidak akan mentolerir praktik memalukan ini.
“Momentum buruk ini menjadi kesempatan besar dan luhur bagi Ketua KPK untuk menyatakan mundur dari jabatan. Itu sangat besar manfaatnya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegasnya.
“Ketua KPK pun tidak usah berfikir gelombang unjuk rasa mahasiswa dan kalangan civil society memintanya mundur dan kemudian dibalas oleh gelombang unjuk rasa yang berpendapat sebaliknya, karena dalam kondisi sekarang prasyarat seperti itu tidak ada. Artinya tanpa desakan dari mahasiswa dan civil society Ketua KPK akan sangat ksatria berfikir untuk mempertimbangkan opsi pengunduran diri,” katanya.
Pembuat Regulasi Jangan Diam
Kemudian, lanjut Shohib, pembuat regulasi, terutama Presiden jangan cuma diam atau hanya menggerutu simptoma hukum.
“Itu tak membantu menyelesaikan masalah,” kata Shohib.
Menurutnya, Presiden dan DPR, dalam ranahnya masing-masing wajib mengevaluasi bahwa dengan revisi UU KPK yang tempohari ditolak kalangan yang luas ternyata hasilnya sangat berbeda dengan gagasan besar yang dinukilkan dalam naskah akademik dan konsideransi UU No 19 Tahun 2019.
Karena itu Presiden dan DPR sudah harus mengkaji efektivitas lembaga terpusat pemberantasan korupsi seperti KPK ini.
“Silakan berfikir dan memberanikan diri untuk mengevaluasi, bahkan untuk opsi pembubaran KPK,” tutupnya.
****
Diketahui, KPK telah menetapkan penyidik AKP Steppanus Robin Pattuju (SRP) dan Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial (MS) sebagai tersangka suap. Steppanus merupakan penyidik dari unsur kepolisian yang berdinas di KPK.
“KPK meningkatkan perkara dan menetapkan tiga orang tersangka. pertama saudara SRP, kedua MH, ketiga MS,” kata Ketua KPK Firli Bahuri, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4) malam.
MH merupakan seorang pengacara. Firli mengatakan pihaknya telah memeriksa delapan orang saksi dalam kasus dugaan suap ini.
Dalam kasus ini, Steppanus dan MH disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b dan Pasal 11 atau Pasal 12 B UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (*)
Liputan: Maestro Sihaloho