Oleh: M. Rizky Anshori Manurung
Sejak republik terbentuk hingga detik ini suara-suara nyaring perbaikan
nasib petani terus berkumandang kencang. Namun seirimg dengan suara-suara
nyaring petani tersebut, sejak itu pula pemarjinalan terhadap
petani terus dipertontonkan!!
James C. Scott (1981) melukiskan eksistensi petani sebagai manusia yang berendam dalam air, dimana ketinggian air sudah sampai dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goncangan menerpa, sang petani segera tenggelam. Konstansi yang telah lama terstruktur. Tidak an sich karena liberalisasi ekonomi yang di pentaskan saat ini. Namun telah langgeng atau terlembaga sejak zaman baheula. Khususnya sejak Orde Baru dengan revolusi hijaunya. Era yang dituding banyak kalangan sebagai awal atau biang kerok teralienasinya petani dari habitatnya.
Tetapi kalau diterawang lebih jauh dan seksama, sejak era kolonial pun mereka sesungguhnya telah tercekik pemanenan. Tercekik dari berbagai belenggu, seperti pungutan pajak yang tak masuk akal dan tekanan-tekanan berat lainnya. Karena tekanan-tekanan demikian, sebagaimana pesan pepatah klasik, cacing pun jika diinjak akan melawan, sudah barang tentu petani melakukan reaksi, yakni pembrontakan terhadap otoritas yang berkuasa. Dari waktu sebagaimana setting historinya para petani selalu meletupkan pembrontakan.
Pembrontakan yang praksisnya mirip mercon atau petasan. Meledak sejenak , namun tidak beberapa lama kemudian hilang tak berbekas. Begitu terus menerus, muncul tapi segera hilang. Sartono Kartodirdjo telah mengulasnya dengan anggun dalam disertasinya “Pembrontakan Petani Banten”
Petani Sebagai Objek
Setelah penjajahan/kolonial berakhir pemerintahan yang terbentuk sebagai buah proklamasi berketetapan hati mengobati penyakit bak kanker stadium lima tersebut. Mereka (pemerintah baru) sadar betul bahwa negeri ini adalah Negara agraris, yang dalam segala sepak terjangnya dilandasi kultur agraris. Tetapi karena masih dalam suasana transisi, yakni dari suasana kolonial ke suasana merdeka, belum banyak yang dapat dibuat. Negara, rezim atau lembaga yang terbentuk masih sibuk menata diri, mengkonsolidasi pemerintahan, dan membangun karakter dan kebangsaan (nation and character building)
Orde Baru (tepatnya rezim baru) yang tampil kemudian sebagai anti-tesa rezim sebelumnya, kembali bertekad memperbaiki nasib petani yang putus-putus dirundung malang. Rezim baru sangat sadar bahwa pertanian adalah soko guru ekonomi Indonesia. Karena itu harus di topang dengan sekuat-kuatnya.
Tekad demikian dibuktikan dengan program pembangunan yang titik beratnya pada pembangunan pertanian dengan paradigma “rencana pembanguan lima tahun”(Repelita). Dari lima Repelita yang akan dipentaskan, tiga Repelita pertama yakni repelita pertama sendiri, kedua dan ketiga menempatkan pertanian sungguh-sungguh sebagai primadona pembangunan.
Faktanya memang berhasil. Dengan tekad yang berkoar-koar, pada awal tahun 1980-an negeri ini mencapai swasembada beras, sehingga mendapat penghargaan dari FAQ. Indonesia oleh banyak Negara di puja sebagai negeri yang sukses membangun pertaniannya.
Namun meski swesembada pertanian meleset bak jet membelah langit, nasib-nasib petani tidak banyak beranjak. Kehidupan ekonominya begitu-begitu saja, alias stagnan sebagaimana sebelum surplus tercapai. Produksivitas tinggi, namun tidak akan kesejahteraannya.
Petani tetap saja melarat. Melarat sebagaimana banyak diulas para pakar kemudian, karena strategis pembanguan pertanian yang tidak tepat. Struktur pertanian yang mencuat realitanya bias perkotaan dan industrialisasi. Pemihakan pada petani atau pertanian yang didengung-dengungkan tak lebih tak kurangnya sebatas objek. Dalam prakteknya entah sengaja atau tidak, petani tidak pernah diikut sertakan dalam pengambilan kebijakan.
Dengan selangit program percepatan nan elitis, seperti pemberian bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan, dipaksakan pada petani. Yang penting produksivitas tercapai.
Persis ketika rezim kolonial Belanda berkuasa, petani hanya dijadikan sebatas objek. Petani yang eksistensinya memang sangat lemah, sebagaimana dilukiskan James C. Scott di atas bisa berbuat banyak selain tunduk pada kehendak penguasa nan otoriter, absolut, atau patrimonial, meski dengan jubah demokrasi.
Demokrasi bukan untuk petani, juga bukan untuk rakyat. Ia hanya diperbinvangkan dikampus, atau seminar terbatas sebagaimana menara gading, atau seglintir kalangan kuat dan kaya. Karena itu petani, tak lebih tak kurang hanya pasrah pada keadaan sebagaimana sudah lama dialaminya, berdoa atau menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya. Atau dalam mitologi jawa, menunggu satrio piningit yang konon akan membebaskan. Sampai kapan?
Pemiskinan Petani
Sejak republik terbentuk hingga detik ini suara-suara nyaring perbaikan nasib petani terus berkumandang kencang. Namun seiring dengan suara-suara nyaring tersebut, sejak itu pula pemarjinalan terhadap petani terus diprtontonkan, sebab tatanan atau sistem ekonomi-politik yang dipentaskan tidak memihak petani.
Sistem tersebut sebagaimana disebut di atas adalah sistem ekonomi yang bias industri dan perkotaan dengan asas “liberalism, Individualism, dan Kapitalisme”. Serahkan ke pasar dan kurangi peran negera begitulah slogan dan praksisnya. Bagaimana petani bersaing dipasar yang dikuasai kalangan kuat dan kaya? Apakah merekah sanggup melawan koporasi-koporasi (khususnya yang dari luar) yang memiliki capital, teknologi dan manajemen canggih yang berprinsip pasar bebas itu (Ronald E Muller & Baneet 1974, Stiglitz J, 2007)/?
Di situ letak ketidakadilan atau inti masalahnya. Ketidakadilan yang semakin menggelayut, sebab di dalam rezim banyak tahyul-tahyul, tangan-tangan tak terlihat (Invisible hand). Seperti para pemburu rente, mafia, antek-antek, atau tepatnya komprador perusahaan-perusahaan asing, yang terus bermain bak mafia Sisilia, demi keuntungan pribadi, fraksi atau perusahaan nya.
Meminjam Peter Evans (1980) dalam bukunya yang terkenal “Dependent DevelopmentBrazil : The Alliance of MNCs,State, and Local Bourgeuse”, yang tampil beda dan hagemoni/berkuasa dalam sistem tersebut adalah persekutuan segitiga yakni Negara, MNCs dan penguasa lokal yang dalam derivasinya meminggirkan perekonomian pedesaan yang diawaki para petani ke titik nadir.
Selama tatanan ini tidak direformasi atau direvolusi, pembiasan-pembiasan yang terus berulang memiskinkan petani, seperti impor beras yang marak hari-hari ini, impor daiging. Bahkan impor garam akan terus lestari, meski mayoritas kekuatan masyarakat menolaknya. (*)
Penulis adalah Sekretaris Bidang Kesehatan PC IMM Kota Medan