Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jauh di lubuk hati paling dalam saya sangat menginginkan persatuan dalam fakta kebhinnekaan. Itu harus terus dipupuk agar bangsa ini terus lebih kuat dan lebih dinamis menggapai kemajuan.
KNPI adalah salah satu dari legacy Soeharto dalam pemanunggalan kelembagaan pembinaan pemuda di Indonesia.
Pasca kejatuhannya banyak fenomena yang menunjukkan keguncangan wadah atas dasar anarkisme (merasa setara dan tak sudi didikte di antara sesama). Persis seperti anarkisme dalam hubungan internasional pasca perang dingin (cold war).
Jika setelah sekian lama anarkisme tatanan dunia berlangsung dengan pembelajaran baru lantas kini semakin dekat dengan polarisasi baru dengan peran Tiongkok dan Amerika, maka menjadi tidak aneh bagi setiap orang ketika menyaksikan di Indonesia juga terjadi gejala yang sama.
Politik kepatronan Golkar berakhir disusul pendirian partai-partai baru seperti Gerindra, Hanura, NasDem dan lain-lain.
Tetapi keterpisahan wadah resmi itu untuk tingkat tertentu hanya bersifat semu karena akhirmya mereka dengan sukarela menundukkan diri di bawah dirijen SBY dalam sebuah koalisi yang “memantangkan oposisi”.
Betul bahwa mereka semua sudah memperkaya baliho dan spanduk yang menghiasi seluruh wilayah tanah air yang menunjukkan seolah masing-masing sedang berjuang untuk membangun demokrasi bagi kebangkitan bangsa.
Tetapi mereka, di balik itu semua, hanya memperkaya peluang beroleh insentif dalam pergeseran kekuasaan yang berlangsung, tidak berorientasi sungguh-sungguh untuk bangsa.
Bahkan kini partai-partai semakin mengukuhkan budaya anti demokrasi dengan proses “birunisasi”, yakni memastikan dinasti darah biru dalam kepartaian.
Aspirasi agar KNPI dipimpin anak Jokowi adalah tanda-tanda kuat kegagalan demokratisasi di lingkungan pemuda Indonesia dan di segi lain itu pastilah terasa sebagai proses pensubordinasian kepentingan nasional pembinaan pemuda kepada figur figur berbasis preferensi dinastik.
Untuk wadah tunggal bikinan Soeharto yang bernama KNPI ini, saya menantang kedewasaan dan keberanian mengevaluasi diri atas kualitas partisipasinya selama ini dalam menjalankan fungsinya untuk berkontribusi bagi bangsa.
Menyerahkan kepemimpinan kepada lingkungan istana dengan begitu serta merta menunjukkan dukungan atas diskresi anti proses. Meski tak diseremonikan, saya yakin fenomrma itu kelak, jika benar-benar terjadi, bisa ditandai sebagai deklarasi pemuda Indonesia ke dua dengan substansi pengakuan atas feodalisme politik sebagai keniscayaan.
Masalah ini juga menunjukkan data yang transparan tentang kapasitas rendah pemuda Indonesia versi bikinan Soeharto ini.
Lagi pula kini sudah semakin luas wadah yang mengalter wadah tunggal ini, dan KNPI mau terbagi dua atau tiga kelihatannya tak ada kerisauan ideoligis yang mengemuka dimana-mana. (*)
Tulisan ini adalah tanggapan atas berita “DPD KNPI DKI Mendorong Gibran untuk Jadi Ketua Umum”.