Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tentang Warga Muhammadiyah Sejati Menghindari Perdebatan di Media Sosial , bagi saya sangat jelas. Bahwa yang diminta dihindari oleh warga Persyarikatan adalah “terjebak dalam perdebatan tiada habis di media sosial”. Selain itu dikehendaki secara kuat untuk lebih mengutamakan produktivitas positif, dan itu moga-moga sekaligus dapat dikategorikan sebagai karakter utama Persyarikatan.
Meski tak disebutkan secara tegas, namun di balik pernyataan Ketum dikandung maksud bahwa bermedia sosial pun sesungguhnya bisa produktif, tidak terjebak dalam perdebatan tiada habis, dan bahkan sembari memupuk karakter utama Muhammadiyah. Tentu ada ilmunya untuk mampu memerankan lakon bermedia sosial seperti itu.
Ini pengalaman pribadi. Saya dimasukkan menjadi anggota di dalam puluhan grup Whats App. Selain berfacebook saya juga bertwitter. Setiap hari saya berusaha memilah, menelaah dan menganalisis semua informasi yang masuk. Luar biasa. Kita beroleh updating informasi yang sangat bermanfaat. Apalagi pada zaman kepemihakan media sekarang yang lebih memerankan diri sebagai “partai politik” dengan orientasi glorifikasi penguasa, informasi dari jalur media social sangat membantu.
Beberapa hal yang secara jelas saya peroleh lainnya ialah latihan kesabaran menerima kebengisan ekspresi dari banyak orang dengan kepentingan yang amat beragam. Kedua, kehati-hatian untuk tidak terjebak dalam jeratan hoaks. Ketiga, updating informasi untuk memperkaya dalam menggariskan pokok-pokok pikiran yang saya perlukan dalam menuliskan sesuatu dalam bentuk artikel.
Pada facebook misalnya saya kerap menuliskan sesuatu yang sifatnya memancing informasi yang ketika itu belum begitu jelas bagi saya. Lazim sekali ada kontroversi, tetapi saya tak pernah terpancing dan jarang sekali saya mau membalas komentar.
Contoh kasus ialah ketika saya menjelaskan keinginan orang Mandailing yang tak lagi ingin terus dibatakkan dalam kategori etnis untuk sensus penduduk 2020. Ribuan komentar yang saya terima, dan kebanyakan adalah caci maki. Saya terus memberi keterangan berbasis data tersahih yang dapat saya jangkau dan menurut dugaan saya meski dibalas dengan caci maki, nilai informasi yang saya berikan perlahan dicerna juga oleh orang yang menentang.
Misalnya ketika saya kemukakan bahwa berdasarkan penelitian Anthony Reid (2006) tidak ada sejarah Batak yang cukup sahih karena semuanya ditulis di bawah kepentingan missionaris Kristen, serdadu Belanda dan pihak-pihak yang berhutang atau tunduk kepada kedua pihak itu. Para pihak yang akan membantah saya berdasar mitos saya harap dapat mengerm diri karena itu sia-sia belaka pada abad industrial 4.0.
Zakir Naik memiliki ceramah yang amat baik tentang situasi ini (Media & Islam: War or Peace). Bagi beliau, ini sebuah perang. Beliau memilih menghadapi ketimbang berdiam diri. Kalau tak salah, bahkan media convergensi juga dikembangkan oleh Yayasan yang dikelola oleh tangan-tangan terampil di sekitar beliau. (*)
Penulis adalah Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut, Dosen FISIP UMSU