• Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan
Rabu, Mei 14, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Modal dan Ideologi

Shohibul Anshor Siregar by Shohibul Anshor Siregar
2021/02/03
in Esai, Kebangsaan, Opini, Ulasan
0
Modal dan Ideologi
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Oleh: Shohibul Anshor Siregar


Bagaimana bisa menjadi sah secara politik, hukum, sejarah dan intelektual, bahwa sebagai salah satu negara terkaya di dunia Indonesia terus menjadi negara dengan mayortas penduduk termiskin dan dengan kesenjangan yang luar biasa parah? Ini pasti sebuah penipuan sistematis yang jwabannya ada pada ideologi, sejarah dan pendidikan.

Apa yang menyebabkan sebuah negara-bangsa yang didirikan dengan pengorbanan darah dan air mata akhirnya buntu sendiri ketika berbicara tentang distribusi keadilan? Apa yang menyebabkan mereka seolah begitu nyaman dengan ketidakadilan yang menimpa?

“Capital and Ideology” (dalam bahasa Perancis: Capital et Idéologie), adalah buku yang diterbitkan tahun 2019 oleh ekonom Perancis Thomas Piketty. Buku ini berjejak sama atau mengikuti gagasan buku yang ditulis oleh penulis yang sama sebelumnya (2013), yakni “Capital in the Twenty-First Century” (Kekayaan Pada Abad 21).

Meskipun secara spesifik ada pembatasan fokus pada kekayaan dan ketimpangan pendapatan di Eropa dan Amerika Serikat, namun buku ini pastilah akan memberi pelajaran bagi seluruh dunia dalam hal ketimpangan yang terus-menerus disembah dan diabadikan. Alasannya, buku ini berbicara tuntas pada ideologi dan derivasinya yang dapat diamati dalam bentuk-bentuk tindakan untuk membentuk struktur dan skala besar predistinasi kehidupan yang berjejaring membentuk ketimpangan yang amat tak adil. Ia tak hanya berkisah tentang teknis gini ratio.

Sebagai bagian dari upaya memengaruhi intelektual dunia, Piketty terus mewartakan pikiran dengan penuh kesungguhan. Respon besar didapatkannya. Di antaranya ulasan dari Pascal Richi dan Eric Aeschimann (September 4, 2019) “Thomas Piketty: «Il est temps de dépasser le capitalisme »”. L’Obs (in French). Marie Charrel (12 September 2019) “Thomas Piketty: ” Tous les discours décrivant les inégalités comme inévitables sont battus en brèche par l’histoire “”. Le Monde; Willian Horobin (12 September 2019) “Thomas Piketty Is Back With a 1,200-Page Guide to Abolishing Billionaires”. Bloomberg; Larry Elliott (9 September 2019) “Thomas Piketty’s new War and Peace-sized book published on Thursday”. The Guardian; “A bestselling economist sets out the case for socialism”. The Economist; Raghuram Rajan(Feb 25, 2020) “Thomas Piketty’s ‘Capital and Ideology’: scholarship without solutions”. Financial Times; Paul Mason (2020-03-01) “Capital and Ideology by Thomas Piketty review – down the rabbit hole of bright abstractions”. The Guardian; Edward Hadas (2020-02-28) “Breakingviews – Review: Piketty digs deep for fool’s gold”. Reuters; Robert Colvile, “Capital and Ideology by Thomas Piketty review — Karl Marx for our century”. The Times.

Dalam ceramah terbarunya (Maret 2020) di sebuah universitas di Amerika Serikat, misalnya, Piketty beroleh perhatian luas dengan sengatan sengit “Capital and ideology” ini. Pemaparannya tak sekadar menyentak, namun menyadarkan banyak orang atas sebuah sejarah ekonomi, sosial dan politik rezim ketimpangan, dari masyarakat trifungsional dan kolonial hingga masyarakat hiperkapitalis pasca-komunis, pascakolonial.

Dibandingkan dengan “Capital in the Twenty-First Century” (2013): “Capital and Ideology” (2019) kurang berpusat pada cerita dunia Barat, untuk secara lebih politis dan berfokus pada fakta kerapuhan dan transformasi ideologi ketidaksetaraan yang terlanjur dianut dunia.

Pada bagian pertama buku ini Piketty membahas regim ketimpangan dalam sejarah dengan tesis utama bahwa sesunguhnya masyarakat ternary memerlukan ketimpangan trifungsional sebagai pembenaran atas ketimpangan yang boleh disebutsebagai yang tertua (masyarakat pra-modern). Keyakinan inti adalah bahwa agar berfungsi, setiap masyarakat perlu membagi populasinya menjadi tiga kelompok sosial utama dengan status, fungsi, dan hak hukum yang berbeda satu sama lain. Bagian-bagian itu ialah Klerus/pendeta/intelektual yang dianggap harus memberikan bimbingan spiritual dan intelektual.

Kedua, para bangsawan/penguasa/pejuang yang dipandang berperan memberikan perlindungan militer dan menjaga ketertiban. Komponen ketiga buruh/pekerja yang berperan menyediakan tenaga kerja untuk menghasilkan makanan, pakaian, dan lain-lain.

Piketty menjelaskan bahwa dua kelompok pertama adalah pemilik properti dan penguasa politik (temporal atau spiritual) serta tak dapat dibantah bahwa keabsahan harta mereka terkait erat dengan politik dan layanan spiritual yang seharusnya mereka berikan kepada seluruh komunitas. Berbagai varian di Eropa Kristen, Hindu, Islam, tergantung khususnya tentang berbagai bentuk ideologi agama, struktur keluarga, kerja paksa, dan lain-lain.

Namun masyarakat ternary dengan ketimpangan trifungsionalnya ini telah menjadi sebuah awal dari pengabadian ketidakadilan sepanjang sejarah. Masyarakat ordo Eropa misalnya, menurut Piketty, telah mengkonsentrasikan kekuasaan dan properti sedemikian rupa. Tentu saja penemuan masyarakat atas status kepemilikan ini bisa berbeda-beda antara satu degan yang lain, namun baik keseluruhannya memiliki konsistensi yang sama dalam hal pengabdian ketimpangan.

Bagian kedua buku ini membahas masyarakat budak dan kolonial yang menjelaskan keniscayaan masyarakat budak sebagai bentuk keniscayaan ketidaksetaraan ekstrem, keragaman dan dominasi yang pasti akan ditemukan di India, Afrika, lintasan Eurasia paling tidak hingga transformasi besar-besaran yang abad 20 yang melahirkan banyak negara-bangsa baru yang dilepas dari penjajahan.

Seperti sebuah etape yang mendominasi dalam perjalanan pemikiran dunia, menurut Piketty krisis masyarakat dalam hal kepemilikan mempertengkarkan berbagai sudut pandang filosofis yang tidak pernah benar-benar saling menungguli misalnya di antara gagasan masyarakat sosial-demokratis dengan segenap ketidaklengkapannya dihadapkan dengan gagasan masyarakat komunis dan pasca-komunis dengan berbagai macam versi dan variasinya. Akhirnya hypercapitalism yang menyapu ibarat badai besar memang menjadi hegemonik, namun tetap menyisakan pertanyaan antara modernitas dan archaisme yang serius.

Pada bagian empat Piketty membahas dimensi konflik politik yang mengetengahkan kemuskilan pembangunan kesetaraan meski secara retoris tampaknya harus menjadi narasi yang dipersukakan. Tidak ada cara untuk melenyapkan ufuk-ufuk yang nyata seperti sosial-nativisme yang lahir tak ubahnya sebagai perangkap baru identitas pasca-kolonial, lahirnya elemen untuk sosialisme partisipatif untuk abad ke-21 dan sejumlah ufuk lainnya yang terus kontestatif.

Peta yang cerdas disajikan oleh Piketty dalam buku ini ketika ia memberi penjelasan tentang bagaimana kegagalan Revolusi Prancis, sakralisasi properti di abad ke-19 dan sekaligus mengakhirinya dengan sebuah puncak ketidaksetaraan kolonial. Disusul dengan dahsyanya mobilisasi sosial, kontradiksi politik akumulasi modal, dan pengurangan ketidaksetaraan di abad ke-20. Pasca-komunisme, kegagalan reaganisme (Reagen), meningkatnya ketidaksetaraan dan risiko penyimpangan nasionalis dan identitas baru di abad ke-21 terus menjadi fenomena yang semakin serius dan elemen untuk jalur alternatif memperkirakan pencarian atas sebuah momentum kebangkitan federalisme sosial dan sosialisme partisipatif meski pun itu akan berlangsung lambat.

Menurut Piketty revolusi Prancis, sakralisasi properti pada abad ke-19 dan yang dapat dilihat sebagai salah satu puncak ketidaksetaraan kolonial sekaligus mencerminkan sifat revolusi yang meski pun memproklamirkan kesetaraan formal dalam hak, tetapi menguduskan hak kepemilikan sebagai agama baru.

Bagaimana menafikan kompensasi finansial kepada pemilik budak sebagai bentuk ekstrem sakralisasi properti dan ketidaksetaraan? Bukankah puncak ketidaksetaraan kolonial itu justruhadirnya masyarakat eksklusif Eropa 1880-1914?

Terjadinya keberlangsungan mobilisasi sosial, kontradiksi politik akumulasi modal, dan pengurangan ketidaksetaraan di abad ke-20 bertumpu pada upaya kaum sosialis mengarah ke awal proses menuju pengurangan ketidaksetaraan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Namun ternyata proses ini telah sangat dipercepat oleh krisis kekerasan pada periode 1914-1945, yang dengan sendirinya dapat ditinjau sebagai konsekuensi dari ketegangan kuat yang diciptakan oleh ketidaksetaraan domestik dan internasional.

Etape pasca-komunisme, kegagalan reaganisme, meningkatnya ketidaksetaraan, dan risiko penyimpangan nasionalis dan identitas baru di abad ke-21 dapat diperjelas dengan memositikan era pasca-komunisme itu sebagai sesuatu yang telah menjadi sekutu terbaik hiper-kapitalisme.Sebab kenyataannya ia memberi makan kekecewaan umum tentang kemungkinan ekonomi yang adil dan segala bentuk internasionalisme yang diyawarkan dengan kemasan lebih egaliter.

Piketty tak lupa mencatat bahwa kegagalan reganisme dan munculnya ketidaksetaraan juga berkontribusi pada bentuk-bentuk baru nasionalisme dan pergeseran identitas di seluruh dunia. Namun apa pun yang telah terjadi krisis tidak cukup untuk mengarah pada pengurangan ketidaksetaraan. Karenahl itu semua tergantung pada mobilisasi intelektual, politik dan kelembagaan serta solusi yang muncul dari krisis.

Dalam jangka pendek, jalur nativist-proprietarian mungkin terlihat lebih mudah diikuti daripada jalur internasionalis-sosialis. Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah karena elemen untuk jalur alternatif (kebangkitan sosial-federalisme dan sosialisme partisipatif) yang hanya mampu berlangsung dengan cukup lambat.

Tetapi amat jelas kebutuhan untuk melampaui kapitalisme dan sakralisasi kepemilikan pribadi (lebih dari sumber daya alam, pengetahuan, dan lain-lain) sangat diperlukan. Meskipun begitu Piketty pesimis bahwa jalan nasionalis mungkin lebih mudah diikuti namun tidak akan berhasil. Isyu keadilan pendidikan misalnya akan terus menyandera selain kritisisme di seputar isyu menyeimbangkan hak pemilik dengan hak-hak pekerja, untuk mendukung sirkulasi permanen kekuasaan dan properti, dan untuk membatasi akumulasi individu menjadi besarnya yang masuk akal berdasarkan eksperimen historis. Mungkin orang berfikir ke depan namun tak cukup berani bertindak mewujudkan sistem yang menjamin pertukaran bebas untuk tujuan yang mengikat terkait keadilan sosial, fiskal dan lingkungan.

Novelty Piketty dalam buku ini ialah bahwa dengan mengembangkan sejarah ekonomi, sosial, intelektual dan politik rezim ketimpangan, ia telah dengan gagah mencoba dalam bukunya untuk menunjukkan kerapuhan dan transformasi permanen rezim ketidaksetaraan.

Mungkin tidak ada bantahan bahwa ideologi ketidaksetaraan saat ini tidak selalu lebih masuk akal dibandingkan dengan masa lalu, dan itu juga pasti akan berakhir dengan sebuah pergantian. Harus pula selalu diingat bahwa sejarah sebagai perjuangan ideologi senantiasa akan mengampuni semua bentuk-bentuk pencarian atas keadilan.

Pada catatan terakhir handout kuliahnya di sebuah universitas di Amerika, Piketty menyebut bahwa keributan demokrasi modern kita bermula dari kenyataan bahwa, sejauh menyangkut ranah sipil dan politik, ekonomi telah berupaya untuk melepaskan diri dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Memang, seperti diakuinya, salah satu tujuan utama buku “Capital and Ideology” adalah untuk mencoba memungkinkan warga untuk mendapatkan kembali kepemilikan pengetahuan ekonomi dan sejarah.

Kekunoan cara berfikir dan manajemen negara-negara yang terus menjadi korban ketaksetaraan dan bentuk-bentuk penjajahan model baru lainnya tidak akan pernah berhenti menyengsarakan rakyatnya terutama karena ketersanderaan semua rezim itu kepada angan-angan palsu buatan negara besar yang hanya benar untuk logika dan pengabadian kekuasaan yang tak berbasis kepentingan rakyat.

 


Artikel ini pernah diterbitkan oleh Harian WASPADA Medan, Senin (13 April 2020)

Sumber: n’BASIS

Tags: bangsaIdeologimodalpikettyThomas Piketty
Previous Post

Kecolongan! Orient P Riwukore, Bupati Terpilih Sabu Raijua Disebut Berstatus Warga Negara AS

Next Post

Ombudsman Gandeng UMSU Perkuat Pengawasan Pelayanan Publik

Related Posts

Menggali Sejarah Titik Temu Agama dan Pancasila

Menggali Sejarah Titik Temu Agama dan Pancasila

29 Februari 2020
556
Next Post
Ombudsman Gandeng UMSU Perkuat Pengawasan Pelayanan Publik

Ombudsman Gandeng UMSU Perkuat Pengawasan Pelayanan Publik

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In