Oleh : Suheri Harahap MSi, Dosen UIN-SU
Agama masuk ke Indonesia secara damai tanpa kekerasan dan benturan budaya (clash of culture), sebuah pendekatan yang progresif menyesuaikan diri dengan sistem sosial budaya yang ada di Indonesia. Abad ke 18 dan19, Indonesia melewati fase sejarah panjang penjajahan yang telah merusak sendi-sendi kehiduan sosial akibat perang dan situasi ekonomi-politik dimana negara harus lahir begitu juga dengan pertarungan ideologi di belahan dunia. Indonesia dapat melewati sejarah bukan negara agama dan bukan negara sekuler apalagi negara komunis. Kita menamakan diri sebagai negara Pancasila.
Agama bukan musuh negara dan bukan ancaman bagi pemerintah. Pancasila sudah final dan agama datang dan berkembang sesuai dengan jiwa manusia Indonesia yang terwujud dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Ancaman bagi Pancasila adalah pengkhianatan Pancasila yaitu G30 S/PKI, sejarah kelam Indonesia yang membunuh para jenderal yang kita sebut Pahlawan Revolusi. Ancaman radikalisme beragama jangan ditujukan bagi salah satu agama saja, tapi mengejar aktor/pelaku/oknum terorisme sebagai musuh negara dan juga musuh semua agama.
Awal kemerdekaan Indonesia bersama Bung Karno dkk pejuang bangsa, founding father meletakkan fondasi negara yang sangat kuat bagi semua kelompok masyarakat menuju Proklamasi 17 Agustus 1945. Itulah Pancasila menjadi dasar negara, alat pemersatu bangsa, ideologi negara, pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Jangan benturkan agama dengan negara. Teruslah menggali sejarah titik temu yang mendamaikan dan sintesa bagi kehidupan bersama.
Filsafat Pancasila lahir dari ruh semangat ke-Indonesia-an yang didalamnya terdapar multi agama dan budaya. Mempersatukan perbedaan ideologis tidaklah mudah tapi harus diwujudkan untuk keberlangsungan masa depan sebuah negara. Negara (state) dibuat dan dibentuk oleh masyarakat (society) agar kehidupan bertahan selama-lamanya. Penggali Pancasila harus membahas, mengkaji, dan memahami Pancasila, baik sebagai ideologi, dasar negara, maupun spiritualitas kebangsaan. Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi dan sublimasi nilai-nilai luhur agama, kepercayaan, dan budaya bangsa.
Negara Pancasila akan menjaga keberlanjutan Indonesia, kita telah bersepakat, bermusyawarah, bergotong-royong menjaga Indonesia, dan kita tidak mau di adu domba, dipecah-belah, dirusak, diancam dan dihancurkan oleh ideologi yang tidak sesuai dengan jiwa dan napas masyarakat Indonesia yang multi etnis dan agama. Mari kita syukuri perbedaan (heterogenitas) sebagai sunnatullah (hukum Tuhan) dan hukum alam (natural law).
Kita membutuhkan semangat baru Pancasila bukan dalam bentuk ide-ide yang sulit dilaksanakan dan saling mengkritik apalagi membenci sesama anak bangsa. Kita sedang bersama-sama menggagas Indonesia 2045, menguatkan ideologi negara seiring dengan memperkuat pengamalan sila-sila Pancasila. Berhentiah dengan isu-isu yang saling melemahkan antara lembaga yang dibentuk negara seperti BPIP karena statement yang melukai dan membuat kemarahan umat beragama, negara terlalu jauh mencampuri kehidupan internal agama dan kelompok beragama. Teruslah menggagas dan meletakkan kepentingan negara diatas semua kepentingan pribadi, agama dan golongan. Indonesia sedang terluka dari berbagai historisitas kehidupan sosial politik dan konflik diberbagai daerah yang disebabkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Jika kita ingin lompatan dan terobosan atas upaya menguatkan Pancasila seperti di zaman Orde Baru, mengubah indoktrinasi, pembelajaran P-4, dll, Mencari pola dan adaptasi penguatan dan pembumian Pancasila secara simultan, tidak salah harus digagas secara sistemik menuju Komisi seperti KPU, KPAI, KPK dll bukan setingkat Badan yang dibentuk pemerintah seperti sekarang ini, terhindar dari kepentingan partai, ego sektoral/sektarian/kedaerahan. Mempercepat dan mengawal pemerintah menuju tujuan negara sebagaimana dalam amanat UUD dan teks Proklamasi 45. (*)