Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Banyak hal yang janggal, mulai dari pandang enteng, ignorance, mislead hingga bad governance yang sangat terbuka ke mata rakyat.
Faktor struktural lainnya ialah politik anggaran yang salah. Refocusing memberi tanda kuat tentang rasa takut terjungkal gegara krisis ekonomi hingga kecanggungan menunjukkan seolah ekonomi lebih penting dari manusia.
Korporasi disuntik dana fantastis, begitu juga UMKM. Itu seolah amat benar. Tetapi masalahnya adalah bahwa jika korporasi ini terus meningkatkan produksinya, UMKM juga sama, kira-kira siapa yang akan membeli produk mereka itu?
Rakyat tak bekerja dan yang tak punya tabungan sudah cengap-cengup, kaum aghniya yang bulan-bulan pertama era covid banyak berinfaq kini sudah jauh menurun sedangkan frekuensi PHK makin gencar.
Karena itu rakyat harus diberi pekerjaan dan itu memang perintah imperatif UUD 1945. Transfer dana ke daerah (dar APBN) masing-masing Rp 5-7 triliun untuk setiap Kabupaten dan kota, serta Rp 7-15 triliun untuk setiap provinsi menjadi solusi.
Jangan hanya DKI dan jabar yang diberi anggaran besar. Diskriminasi itu mengundang radikalisasi karena rakyat Indonesia tak hanya di dua daerah dan tak perlu menanti mereka marah besar.
Dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur dengan cara padat karya. Tentu tidak seperti model yang ditempuh Presiden Jokowi membawa China dan memberinya keleluasaan berlebebih hingga tukang pacul bergaji fantastis pun harus orang China meski Indonesia terus mengekspor kuli.
Enam tahun terakhir besar sekali angka pertumbuhan infrastruktur, tetapi itu diikuti oleh angka gulung tikar amat besar pada perusahaan yang bergerak dalam bidang infrastruktur di Indonesia. Paradoks ini masih diperparah lagi misalnya jika China memerlukan cangkul dan paku, ia langsung bawa dari China.
Isyu arogansi pekerja China ini juga amat serius yang membuat rakyat teringat rodi dan kerja paksa saat penjajah masih jaya di tanah leluhur. Jangan dikira dengan mengundangkan HIP semua bisa reda, malah terbukti makin marak karena nalar rakyat terbukti jauh lebih bening tentang Pancasila ketimbang produsen RUU HIP.
Jangan berharap saudagar survei dan buzzer beranggaran besar bisa meredakan resistensi. Itu kekeliruan besar.
Jika resep refocusing dan pengelolaan isu publik tak dikelola baik, menteri dan para juru bucara bernalar paspasan terus berceloteh, maka proses radikalisasi ini akan terus berlangsung karena faktor struktural seperti pemaksaan politik hukum Omnibuslaw tak hanya ditolak oleh kaum buruh, tetapi juga kalangan yang amat luas termasuk oleh lembaga-lembaga internasional.
Radikalisasi bisa berakhir dengan sesuatu yang akan bertoreh duka, misalnya civil dis-obesience. Saya tidak suka membayangkan itu. Tetapi katakanlah karena musim pilkada transaksional dalam satu bulan terakhir akan mengalirkan sembako ke rumah dhuafa, tetapi setelah itu apa? (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU
(Artikel ini disampaikan dalam diskusi di MUI Sumut, Selasa,10/11/2020)