Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Prof Dr H Aqib Suminto menuturkan kisah ini di dalam disertasinya (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1985). Sesuai teori Thomas Raffles (Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought, 1978), sebaiknya Sumbar muslim dan Aceh muslim haruslah dipisah.
Ludwig Ingwer Nommensen dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang belakangan merealisasikannya. Baginya tak mudah, karena resistensi rakyat sangat besar atas penjajahan, apa pun bentuknya. Nommensen berasal dari Pulau Noordstrand di Schleswig, yang pada waktu itu merupakan wilayah Denmark.
Ia bawalah bala tentara membakari kampung-kampung, khususnya milik para pentolan yang terkoneksi dengan Singamangaraja XII untuk tujuan pemulusan misinya (Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, 2010).
Uli Kozok menelaah tragedi ini sangat mendalam dengan menggunakan bukti-bukti korespondensi Nommensen dengan organisasi induk yang menugaskannya, RMG. Juga dengan pemerintah Belanda.
Uli Kozok juga memberi bukti award berupa uang dan bentuk lainnya atas jasanya membantu bala tentara Belanda menaklukan perjuangan rakyat di Toba termasuk untuk klaim membunuh pahlawanku Singamangaraja XII.
Dari sebuah sudut terpencil antara Utara dan Selatan Tapanuli, berdiamlah seorang sufi pemilik 9 sumur yang terletak di belakang rumahnya di lingkungan Huta Patuan yang dibangunnya berikut masjid dan madrasyah.
Amanjahara Sitompul nama pahlawanku itu. Janji Angkola nama kampungnya.
Sebagai tokoh panutan beliau tak akan pernah mengabaikan perkembangan masyarakatnya, termasuk politik.
Suatu ketia dijadwalkan pilkades. Amanjahara Sitompul ikut calon. Ia menang. Tetapi pemerintah belanda menganulir. Ia menerima solusi pilkades ulang. Tiba saat pilkades ulang ia menang lagi, lalu diberi “besluit” (surat ketetapan) sebagai Kepala Desa.
Beberapa bulan kemudian ia pergi ke kantor penerintah Belanda di Tarutung. Di sana ia serahkan besluit yang memandatinya sebagai Kepala Desa dengan sebuah ungkapan datar tanpa emosi: “Dang on na hugulut, unang adong na marlea ni roha tu hami silom on“.
Beberapa tahun lalu IAIN Padangsidimpuan meminta saya ikut membahas dakwah di bona pasogit, di kampung yang dibuka H Syaikh Ibrahim Sitompul ini.
Banyak kisah heroik yang saya dapati dari nara sumber yang lain, termasuk dari pihak keluarga almarhum.
Kini dakwah tak segairah semestinya di sini. Magnitnya tak sekuat Tanah Karo, misalnya yang boleh disebut amat gencar dipikirkan dan dibina.
Bukan tidak ada intelektual dari kampung ini, kerabat dekat mau pun teman sekampung.
Salah seorang cucunya yang waktu itu anggota DPRDSU (alm Mustafawiyah Sitompul) pernah saya dorong untuk mengukuhkan kawasan dan rumah suluknya yang berarsitektural unik itu menjadi kawasan cagar budaya. Belum berhasil.
Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU