Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Sesungguhnya saya meyakini tidak ada sesuatu misteri di Lapangan Merdeka Medan (LMM), melainkan hanya soal deal dalam transaksi bisnis biasa yang sangat mudah dijejaki. Deal itu menandakan pertemuan kepentingan memuaskan bagi tiga pihak, yakni pengusaha, penguasa, dan politisi.
Jika menyoal LMM sebagai sidikjari proklamasi,cagar budaya dan ruang terbukahijau, [1] maka sebetulnya presedennya sudah ada dalam sejarah dan berskala nasional.
Sebelum membahas LMM saya akan menjelaskan beberapa misteri yang saya duga keras terkait dengan cara kita memperlakukan LMM, dan saya menganggap itu terkait dengan reaksi dari perasaan rendah diri sebagai bangsa bekasjajahan. [2]
Misteri 1: Mengapa Naskah Piagam Jakarta Batal Menjadi Teks Proklamasi
Piagam Jakarta yang berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasis memestinya adalah naskah proklamasi Indonesia, sesuai keputusan BPUPKI.[3] Namun tidak ada seorang pun di antara Bung Karno, Bung Hatta, Mr Subardjo, dan anggota PPKI yang membawa naskah itu waktu rapat di rumah Laksamana Tadashi Mayeda, 16 Agustus 1945 tengah malam.
”Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945,” kata Bung Hatta seperti ditulis dalam bukunya Sekitar Proklamasi. Malam itu mereka berkumpul di rumah Mayeda Jl. Meiji Dori 1 atau Imam Bonjol 1 Jakarta.[4]
Mereka mojok di ruang tamu kecil duduk di kursi dengan meja. Ruang itu terpisah dengan ruang tengah tempat berkumpul sekitar 40 anggota PPKI. Sementara di luar rumah ramai berkerumun rakyat dan pemuda menunggu hasil rapat ini.
Ketika akan diketik, Soekarno memanggil Sayuti Melik yang menerima selembar kertas berisi teks proklamasi lalu menuju keruang lain yang ada meja dan mesin tik. Tapi mesin tik itu berhuruf Kanji Jepang. PembantuMayeda, Satzuki Mishima kemudian diperintahkan mencari mesin tik berhuruf Latin.
Dengan naik jeep, dia pergi ke kantor militer Jerman. Satzuki bertemu perwira Angkatan Laut Mayor Kandelar. Perwira ini bersedia meminjamkan mesin tik. [5]
Sebelum rapat ditutup, Bung Karno memperingatkan bahwa hari itu tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10 Proklamasi Kemerdekaan akan dibacakan di depan rakyat di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56.
Rapat berakhir sekitarpukul 03.00. Tuan rumah Mayeda turun dari loteng menemui para tamunya bersama Shigetada Nishijima, ajudannya. Mereka memberi selamat atas hasil rapat ini. Sebelum pulang tuan rumah menyuguhkan roti, telur, dan ikan sardine untuk makan sahur.
Misteri 2: Siapa Pemilih Rumah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No 56?
Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di rumah Ir. Soekarno. Awalnya rencana memproklamasikan kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan di Lapangan Ikada. Tetapi selama sekian lama luput dari pengetahuan umum bahwa rumah itu adalah milik pemberian Faradj bin Said bin AwadMartak, seorang pedagang Indonesia keturunan Arab.
Setelah digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan, rumah yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur no. 56 ini diberikan kepada negara. Faradj bin Said menghibahkan rumah itu agar saksi sejarah itu bisa dikelola dengan baik oleh negara. [6]
Misteri 3: Mengapa Soekarno Menghancurkan Rumah Proklamasi? [7]
Rumah Proklamasi yang berlokasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat, ini, dirobohkan pada 27 Agustus 1950 atas permintaan Bung Karnosendiri. Apa alasan di balik itu?
Saya sendiri kurang dapa tmenerima alasan di balik penghancuran rumah Proklamasi bahwa dikatakan Bung Karno dan beberapa pejuang Indonesia serta perwakilan daerah melakukan Musyawarah Nasional yang menghasilkan “Pernjataan Bersama” yang diteken oleh Bung Karnobeserta Mohammad Hatta pada 14 September 1957.
Setelah itu, dibentuk Dewan Perancang Nasional atau “arsitek” dalam artian luas dengan rancangan 335 proyek yang terbagidua (Proyek A dan Proyek B). Proyek A mencakup seluruh fasilitas dasar atau primer yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Sedangkan proyek B meliputi hasil bumi atau hasil kekayaan Indonesia untuk membiaya iproyek A. Proyek ini diumumkan oleh Mohammad Yamin. Semua pihak yang terlibat mendukung proyek tersebut hingga banyak diiklankan di suratkabar dengan tagline “Maju Terus Pembangunan Semesta Berentjana”.
Pada 1 Januari 1961, Bung Karno memutuskan untuk memulai pembangunan semesta berencana dan mencanangkan cangkulan pertama di rumah Proklamasi. Gatot Subroto dan Gubernur DKI Jakarta Periode 1960-1964 Soemarno Sosroatmodjo tercatat menjadi saksi atas peristiwa bersejarah yang sempat menjadi “milik RI” dan dijadikan Wisma Nasional ini.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung pada saat itu sempat mengajukan protes keras. Tetapi Bung Karno marah hingga akhirnya Henk Ngantung membuat maket kompleks Rumah Proklamasi dan disimpan di salah satukantor PT PP (Persero) Tbk yang berlokasi di Jalan Thamrin. Sebelum Rumah Proklamasi dibongkar, pada saat bersamaan tengah dibangun Gedung Pola yang berada di belakangnya.
Misteri 4: Gedung-gedung Bersejarah yang Dirobohkan Pemerintah Indonesia [8]
Rumah Proklamasi yang sangat bersejarah itu, yang menjadi saksi mata peristiwa luarbiasa penting, sudah tidak adal agi. Begitu juga bebera pabangunan di sekitarnya. Kini hanya sebuah taman saja yang ada di situ, berikut tetenger berupa tugu yang seolah tepat menandai dan menggantikan keberadaan teras rumah tempat pembacaan teks proklamasi yang telah dibongkar. Berbentuk bulatan tinggi sekitar 17 meter, tugu ini berkepalalam bang petir mirip logo Perusahaan Listrik. Tugu itu kemudian dikenal sebagai Tugu Petir. [8]
Tak jauh dariTugu Petir, berdirilah TuguProklamasi yang dibangun oleh Soeharto dan diresmikan pada 16 Agustus 1980. Sukarno juga tak ambil pusing dirobohkannya Benteng Fredrik Hendrik (lambang penjajahan berabad-abad) dan juga Taman Wilhelmina yang menjadi lokasi Masjid Istiqlal. Banyak situs atau bangunan-bangunan bersejarah dari masa kolonial yang dirobohkan di masa Sukarno, begituk juga era Soeharto. [8]
Misteri 5: Lapangan Merdeka Medan
“Ini adalah benturan antara kepentingan ekonomi dan cagar budaya dalam pesatnya pembangunan, dan yang terakhir inilah yang telah dikalahkan.” [9] Saya kira petikan di atas lebih dari cukup untuk menyimpulkan pemahaman kita atas LMM selama ini.
Jika Sukarno membiarkan bangunan terbongkar karena semangat anti kolonial, maka terbongkarnya Kawasan Pondok Gede nan bersejarah itu, bagi sementara orang memang harus. Karena, di rumah gede yang didirikan Pendeta Johannes Hooyman pada 1775 itu, pernah dimiliki seorang Yahudi Polandia kaya-raya (pedagangemas) bernama Leendert Miero. [8]
Warisan kolonial yang hilang di masa Sukarno jadi presiden tak hanya bangunan-bangunan, tapi juga jaringan trem. Tremlistrik di Jakarta hilang pada 1961. Situasi yang sama terjadi pula di Surabaya. Trem saat itu dikesankan sebagai berbau kolonial. [10]
Di atas semua misteri itu saya ingin kita bergerak dari LMM untuk menghalau penyakit tuna sejarah bangsa kita di Medan. Jika ada keberanian kita minta pergi semuaperusahaan yang beroperasi untuk Merdeka Walk itu. Lapangana dalah bidang datar yang lapang selapang-lapangnya tanpa bangunan permanen di atasnya, dan tanpa pagar kecuali pagar bathin kita bersama.
Jika ada keberanian kita beri semua stakeholder untuk beraktivitas di level 2 dan 3 bawah tanah LMM. Level 1 kita jadikan lapangan parkir dan dari sana kita buat terowongan menghubungkan LMM ke Gedung DPRD Kota, Provinsi, kantorWalikota, Kantor Gubernur dan Gedung-gedung lain termasuk akses kepintu tol terdekat.
Jika ada keberanian mestinya melalui forum ini sekarang tepatsekaligus meneriakkan semua situs sejarah yang belum dikukuhkan sebagai Kawasan cagar budaya, tidak hanya LMM, melainkan juga semua situs penting yang ada di sekitar Gedung Nasional Medan. (*)
Artikel ini Disampaikan pada FGD Strategi Memungsikan Lapangan Merdeka Sebagai Sidik Jari Proklamasi Cagar Budaya dan Ruang Terbuka Hijau, yang diselenggarakan oleh Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sumatera Utara BekerjasamadenganKwardaPramukaProvinsi Sumatera Utarabertempat di halaman Gedung KwardaPramuka Sumatera Utara, Jalan Jenderal Besar Abdul HarisNasution Nomo 7 Medan, tanggal 1 Oktober 2020, Pukul 09.30 s.dSelesai.
Catatan:
[1] Karena keterbatasan pemahaman saya, saya akan merelakan pembahasan soal fungsi ruang terbuka hijau LMM menjadi porsibagi pembicara lain yang dilibatkan dalam forum ini.
[2] Studi post-kolonial banyak membahas masalah bangsa-bangsa pada pasca kepergian penjajahmereka, antara lain Joseph Rudyard Kipling (1865- 1936), Antonio Francesco Gramsci (1891 – 1937), Ibrahim Frantz Omar Fanon (1925- 1961), Aimé Fernand David Césaire (1913 – 2008), Paul-Michel Foucault (1926 – 1984), Theodor W. Adorno (1903 – 1969), Edward Wadie Said (1935 – 2003), Gayatri Chakravorty Spivak (1942-) dan lain-lain.
[3] Lihat: Pendidikan Pancasila untukPerguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, 2016, hlm 55.
[4] Menurut Hatta dalam bukunya itu ada lima orang yang ikut merumuskan teks proklamasi yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik (Lihat: Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi: Tintamas, 1970). Tapisumber lain kebanyakan menyebut hanya tiga orang: Bung Karno, Bung Hatta, dan Subardjo (Lihat antara lain: William Frederick dan Soeri Soeroto,Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta, LP3ES, 2002: hlm 308-311).
[5] Saya berprasangka bahwa jika mencari mesin tik merekabisa kemana-mana, mengapa mengambil naskah Piagam Jakarta tidakbisa? Lihathttps://nasional.kompas.com/read/2018/08/17/13475481/cerita-naskah-proklamasi-dan-mesin-tik-milik-perwira-nazi?page=all
[6] Faradj Martak akhirnya memang menghibahkan rumah itu untuk negara, dan selain itu juga membelikan sejumlah gedung di Jakarta untuk pemerintah (https://albalad.co/kisah/2017A6671/faradj-martak-sahabat-arab-soekarno-terlupakan/). Atas jasanya itu pemerintah Indonesia memberi ucapan terimakasih dan penghargaan kepadaFaradj bin Said Awad Martak yangdisampaikan secara tertulis atas namaPemerintah Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950, yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel selaku Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Letter_of_Appreciation_and_Acknowledgment_The_Government_of_the_Republic_of_Indonesia_to_Faradj_Martak.jpg).
[7] https://properti.kompas.com/read/2020/08/17/185020521/ini-alasan-bung-karno-membongkar-rumah-proklamasi?page=all
[8] https://tirto.id/gedung-gedung-bersejarah-yang-roboh-di-era-sukarno-soeharto-cD9C
[9]Alwi Shihab, Betawi: Queen of the East, PenerbitRepublika, 2002.
[10] FirmanLubis, Jakarta 1950-an: KenanganSemasaRemaja, Depok: Masup Jakarta, 2008.