Mencermati semakin bertubi-tubinya usul agar Pilkada Serentak 2020 yang sudah ditunda sekali (dari 9 September menjadi 9 Desember 2020) agar ditunda lagi, saya merasa ada hal yang sepatutnya dipikirkan sebelum mengemukakan usul itu.
Pertama, karena kurang lebih sebenarnya tak ada basis data dan informasi bersifat akademik yang benar-benar kuat dan dapat dijadikan dasar yang memadai bagi penggambaran tingkat keparahan wabah covid-19 saat ini di Indonesia, maka untuk meramalkan peredaan wabah ini pun sama sekali tidak ada orang dan lembaga yang mampu melakukannya kecuali dukun atau yang semacamnya.
Tetapi keterangan dan informasi yang diperlukan Indonesia untuk merumuskan kebijakannya ke depan bukanlah data klenik, melainkan lebih tepat disebut data klinis. Keduanya diproduksi dengan cara yang sangat berbeda secara diametral.
Kedua, karena itu, bagi saya usulan-usulan yang bertubi-tubi untuk penundaan Pilkada Serentak itu kurang lebih adalah ucapan selamat beroleh alasan kuat (yakni pandem yang tak terkendali) untuk perpanjangan masa jabatan Preseden, DPR, DPD, MPR dan DPRD.
Karena jelas bahwa jika nanti tuntutan penundaan pilkada ini sudah sukses, sebagaimana suksesnya penundaan pertama, maka tuntutan berikutnya adalah tunda pemilu (pileg dan pilpres).
Indonesia hanya tinggal menunggu saja keputusan politik dikukuhkan dengan keputusan hukum memperpanjang masa jabatan DPRD, DPR, DPD, MPR, dan Presiden itu dan sistem politik dan kepartaian saat ini membuatnya dapat menjadi begitu mudah semudah menyetujui RUU HIP dan RUU Sapu jagat itu atau bahkan semulus amandemen UUD sebanyak 4 kali itu.
Begitulah bahwa penundaan pilkada serentak itu memiliki rentetan yang berbahaya bagi demokrasi.
Ketiga, dalam keadaan tak diseriusi pencegahan dan pembasmiannya seperti selama ini, maka amat pasti tidak ada jaminan wabah covid-19 ini berakhir setahun atau dua tahun lagi.
Karena itu semua pengusul penundaan Pilkada Serentak 2020 mestinya tak lebih terasa sebagai suguhan gratis untuk menikmati kebahagiaan beroleh perpanjangan masa jabatan kepada Presiden dan DPR, DPD, MPR dan DPRD. Karena tak mesti abai sejak awal, bahwa suara kritis mereka sebetulnya sangat diperlukan pada waktu sangat dini untuk mengevaluasi kecentang prenangan cara penanganan covid-19 oleh pemerintah.
Tentu saja secara moral organisasi seperti Muhammadiyah yang secara resmi sudah menunda rencana Muktamarnya dapat menjadi perbandingan yang lebih memuluskan perpanjangan masa jabatan eksekutif dan legislatif hasil pemilu di Indonesia.
Berbilang negara menunda pemilu karena wabah ini, namun berbilang juga yang sukses menyelenggarakan pemilu dengan terlebih dahulu mengukir keberhasilan penekanan angka pertumbuhan persebaran.
Korea Selatan misalnya, setelah berhasil menekan angka persebaran, pemilu dengan protokol kesehatan dan aturan pemilu yang ketat dapat melaksanakan agenda demokrasinya tanpa pertambahan satu orang penderita baru karena tertular, apalagi klaster baru. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU