Kini PAN juga tetap bukan pilihan tunggal dalam bathin warga Muhammadiyah. Ada kontestasi damai yang terus berlangsung, khususnya antara PAN dan PKS. Tidak ada jaminan warga Muhammadiyah akan menjadi pendukung mutlak salah satu di antara keduanya. Ada rumus political marketing yang akan menghasilkan ketertarikan. Substansi keperwakilan kedua partai inilah yang akan menentukan.
Pada saat sekarang PAN mengalami dinamika baru dengan bayang-bayang serius akan dibentuknya sebuah partai baru oleh pendiri PAN yang dulu diinfakkan secara ikhlas, Mohammad Amien Rais. Orang-orang PAN tidak perlu disaksikan menangis untuk mengetahui betapa resahnya mereka dengan rencana itu.
Diplomasi substantif diperlukan oleh PAN. Ada orang seperti Soetrisno Bachir (mantan Ketua Umum PAN pengganti Mohammad Amien Rais) yang memiliki tautan batin yang tak pernah putus dengan Mohammad Amien Rais. Jika bahasa bathin Soetrisno Bachir tak lagi efektif, maka tibalah ancaman serius bagi PAN.
Diam-diam warga Muhammadiyah banyak yang membenarkan inisiatif Mohammad Amien Rais. Mengapa? Mereka ikut kecewa sekecewa Mohammad Amien Rais. Muhammadiyah tetap memiliki kebutuhan jaringan kelembagaan untuk memperjuangkan aspirasinya. Tetapi jika keluhan Mohammad Amien Rais benar-benar diterjemahkan, begitu sukar untuk menahan eksodus dukungan ke partai baru Mohammad Amien Rais situ.
Ini tidak pantang dibicarakan. Bahwa politik identitas itu abadi. Jika di antara sekian banyak partai yang mengatasnamakan aspirasi umat Islam menambah lagi kesengitan kontestasinya selama ini, maka pasca pemilu berikut ada dua skenario.
Pertama, mereka akan membagi agak berimbang semua suara captive, tetapi hanya menghasilkan angka perolehan suara pemilu yang tak melewati ambang batas parliamentary threshold.
Kedua, akan ada satu di antara partai-partai itu yang melebihi yang lain dalam perolehan suara sehingga yang lain dengan sendirinya terpaksa membuat partai baru menghadapi pemilu berikutnya.
Mereka tentu tidak bisa diberi amar “pasca pemilu mendatang semua harus melebur ke partai yang paling memungkinkan (berdasarkan perolehan suara) dan karakter modernitas yang lebih menjanjikan masa depan”. Itu tidak mungkin sama sekali.
Pertanyaan serius adalah apakah nanti PAN akan ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah? Buatlah optimisme untuk menjawab ini dengan pertama, memberi jawaban yang meyakinkan tentang perspektif masa depan untuk merealisasikan gagasan dan cita-cita besar baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dan penjagaan setia atas ancaman penyimpangan serius dari konsep al-dar al-ahdi wa al-syahadah.
Tetapi langkah awalnya dapat dimulai dengan menyeleksi figur terpenting yang paling representatif menurut ukuran kekaderan Muhammadiyah untuk direkrut menjadi pengurus PAN di daerah-daerah. Keresahan Muhammadiyah juga selalu termanifestasi dengan berbagai cara ketika mereka menyaksikan partai yang dulu mereka support habis-habisan justru kini dalam gagasan dan personalia kepartaian dan kursi legislatif sama sekali tak mencerminkan perjuangan Muhammadiyah. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)