Pemerintah melalui aparat penegak hukumnya sangat diharapkan mampu mengungkapkan secara terbuka dan seterang-terangnya motif di balik penyerangan terhadap Ustaz Syaikh Ali Jeber.
Sebagaimana dapat dimonitor, opini publik kini sarat dengan spekulasi.
Mungkin ini hanya karena mengikuti saja kisah-kisah yang pernah terjadi sebelumnya. Para pelaku kerap diidentifikasi sebagai orang berpenyakit jiwa. Dengan begitu pengungkapan pun terhenti.
Namun rakyat menilai masalah tidak sesederhana itu. Dengan mudah pula dihubungkan dengan kasus-kasus persekusi terhadap ulama, baik dengan cara kekerasan maupun upaya lain yang dapat berakhir di pengadilan.
Jika tidak diselesaikan dengan memuaskan, aka nada tak hanya tumpukan perasaan tak puas, melainkan kecurigaan yang serius. Rakyat dapat menjuruskan pertanyaan “mengapa umat Islam Indonesia kini selalu menjadi korban?”
Sebagaimana diketahui, Indonesia cukup sarat dengan kasus-kasus yang tak terselesaikan dengan baik. Pada suatu Subuh, bulan September 1998, warga dihebohkan kematian Hasim yang tergeletak bersimbah darah.
Hasim adalah seorang petani dan juga bertugas sebagai takmir masjid. Peristiwa itu terjadi di Desa Pondoknongko, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Seiring kejadian itu tiba-tiba pondok yang berada di kebun pun dibakar.
Masih di kecamatan yang sama, pada waktu berbeda, Abdullah menjadi saksi peristiwa pembantaian saudaranya.
Di Desa Sukojati, Arifin (kakaknya) beserta istri dan anaknya dibantai sekelompok warga. Mereka dijemput massa dengan tuduhan punya ilmu santet.
Ainnurohim, korban penyerangan beberapa orang yang tampil dengan pakaian ala ninja, menceritakan bahwa pada suat malam ia melihat sesosok bayangan.
Ainnurohim lalu mendekatinya, dan tiba-tiba bayangan itu sudah membacoknya.
Tiga kejadian itu adalah contoh kecil dari ratusan kasus serupa yang terjadi di Banyuwangi dan beberapa daerah lain pada 1998.
Secara nasional peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan “Dukun Santet” dan “Ninja”. Resonansi pemberitaan semakin meluas dan sampai ke luar negeri.
Seorang peneliti, Jason Brown, yang tertarik dengan kasus itu, awalnya mengetahui peristiwa ini dari beberapa media terbitan luar seperti The Sydney Morning Herald edisi Sabtu, 7 November 1998 dengan tajuk berita “Indonesia’s New Wave of Terror”.
Ia juga membaca dua laporan BBC News Online edisi 13 dan 24 Oktober 1998, dengan judul berita “Macabre Murders Sweep Java” dan “Indonesia’s Ninja War”.
Jason kemudian menerbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian (Teror Maut di Banyuwangi, 1998).
Tahun 2003 terjadi penganiayaan terhadap KH. Ahmad Asmuni Ishaq. Ia wafat di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Lumajang. Pelakunya komplotan ala ninja.
Jauh sebelumnya, tahun 1946, di Sumatera Timur, terjadi pembantaian massal terhadap kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.
Empat Kesultanan Melayu (Langkat, Deli, Asahan, Parapat) dan Kerajaan Simalungun yang menjadi sasaran pembunuhan. Banyak anggota keluarga Kesultanan Melayu menjadi korban.
Hingga kini kasusnya tidak terungkap secara jelas.
Saya berharap Komnas HAM sesuai mandat Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dapat memberi support agar keadaan bisa dipulihkan.
Indonesia kini terasa seakan kehilangan keakraban berwarganegara. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU