TAJDID.ID-Medan || Kawasan Pantai Barat Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara akan tenggelam dan peradapan disana bukan hanya hancur tapi musnah, jika pembiaran kerusakan lingkungan hutan dan sungai masih terus terjadi.
Pendapat ini adalah hasil rangkuman wawancara terpisah Senin (7/9) dari Dr. Rahmat Mulyana Pemerhati dan dosen Lingkungan Hidup UNIMED serta sejumlah putra daerah Mandailing Natal, seperti Drs. H. Ahmad Mulyadi selaku Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Pantai Barat (PMPB) Sumut, Sekjen Ikappenas Joharsyah dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumut Amrizal.

Dr. Rahmad Mulyana mengatakan apabila aktifitas pengrusakan ini terus dibiarkan, maka berdampak kehancuran lingkungan dan musnahnya habitat makhluk hidup yang ada disana, bahkan akan bisa menyebabkan longsor dan banjir yang sangat parah.
“Lingkungan hidup kolektif, mencakup lingkungan alam yang meliputi lingkungan fisik, biologi, dan budaya,” ujarnya.
Dijelaskannya, Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1982 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 pasal 1 menyebut pengertian lingkungan hidup itu adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
“Jadi kalau pembiaran ini terus berlanjut maka yang akan musnah bukan hanya sungai itu saja tapi bisa pula hancurnya peradaban disana,” tegasnya.
Investigasi
Hasil investigasi para putera daerah menunjukkan kerusakan lingkungan sudah sangat dahsyat. Air sungai batang Natal sekarang sudah coklat berlumpur sehingga tak laik digunakan lagi. Sebaran warna coklat oleh lumpur ini juga sudah memenuhi laut di sepanjang garis pantai Natal.
Penambangan emas ini dilakukan oleh PT Capital Hutana Mining dan hampir sepanjang DAS Batang Natal juga terdapat illegal mining yang dilakukan para pemodal besar lainnya dengan merusak sungai memakai excavator. Dalam melakukan kegiatannya mereka juga melibatkan oknum-oknum dari masyakat setempat untuk menyamarkan kegiatan mereka dan juga agar terlihat seolah didukung oleh masyarakat.
Hasil data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, Sekretaris Jenderal Ikappenas Medan, Joharsyah menjelaskan bahwa Banjir bandang 2018 lalu debit air terbanyak ternyata berasal dari Sungai Maino yaitu anak sungai batang natal yang bermuara ke Sungai Batang Natal di Simpang Gambir Kec. Lingga Bayu. Maka tak mengherankan jika banjir bandang di Muara Soma terjadi pukul 18:00 sementara di Desa Rantau Sore, desa yang justru lebih ke hulu Sungai Batang Natal banjir terjadi pukul 21:00. Jika sumber banjirnya adalah dari Sungai Batang Natal maka yang seharusnya terkena banjir duluan adalah Desa Rantau Sore bukan Desa Lingga Bayu.
“Ini mengindikasikan bahwa bahwa banjir tersebut memang diakibatkan perambahan hutan yang terjadi di Kecamatan Lingga Bayu,” ujar Joharsyah.

Kemudian Drs Ahmad Mulyadi, Ketua PMPB Sumut mengatakan, selain perusakan lingkungan karena tambang emas ilegal oleh PT. Capital Hutana Mining dan para cukong-cukong rakus lainnya, di kedua anak Sungai Batang Natal tersebut sudah banyak terjadi alih fungsi hutan ke perkebunan sawit. Perusahaan perkebunan ini cukup banyak memberi andil penyebab banjir di Pantai Barat tersebut, perusahaan-perusahaan itu antara lain PT Sago Nauli, PT. TBS dan PT. PSU, sebutnya.
“Kecamatan Natal dan Muara Batang Gadis, tinggal menunggu tenggelamnya saja jika terjadi pembiaran oleh pemerintah terhadap aksi perusakan lingkungan ini. Para perusak ini tidak lain adalah para pengusaha yg hanya mencari keuntungan dengan mengorbankan keberadaan masyarakat” kata Mulyadi.
Di tempat terpisah, Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumut, Amrizal yang juga putra daerah Pantai Barat Madina juga memberikan komentarnya. Pihaknya mencatat banjir bandang sudah terjadi berkali kalid pantai barat tanpa mampu dicegah oleh pemerintah kabupaten. Ironisnya lagi dari tahun ke tahun kehancuran yg diakibatkan banjir bandang dan longsor semakin parah. Tercatat di tahun 2018 memakan korban. Selanjutnya tahun 2019 korban makin bertambah merendam 13 kecamatan, 77 rumah hanyut dan 17 korban tewas akibat terseret banjir.
Amrizal menyebut ini adalah wujud ketidakmampuan Bupati Mandailing Natal Dahlan Hasan Nasution dalam mengelola daerahnya. Tahun 2020 ini jika Pemkab Madina tidak siap menangkal ancaman banjir yg biasanya terjadi di saat musim penghujan di Bulan Oktober, November, Desember kemungkinan jatuh korban akan jadi kenyataan.
“Kita mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati memilih bupati baru pada pilkada mendatang. Jangan lagi menjadi korban kebohongan calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 tahun ini,” tutupnya.
Saat dihubungi terpisah, seorang tokoh masyarakat Natal, Dr. H. Ramli Lubis yang baru-baru ini berkunjung ke Mandailing Natal untuk berziarah ke makam orang tuanya, ketika dimintakan pendapatnya mengenai permasalahan ini beliau juga tidak menampik bahwa pencemaran lingkungan itu memang benar terjadi.
Mantan Wakil Walikota Medan yg sekarang tinggal di Jakarta ini menceritakan pengalamannya pulang kampung baru-baru ini sungguh telah memunculkan rasa sedih yang mendalam.
Dituturkannya, kota Natal sekarang seolah mundur ke zaman 30 tahun yang lalu. Keadaan masyarakatnya sungguh sangat memilukan, mata pencahariannya hancur ditambah lagi beban kehidupan akibat listrik yang sering padam. Keadaan ini telah berlangsung lama sehingga alat-alat elektronik warga banyak yang rusak. Akibatnya ekonomi masyarakat tidak berjalan baik.
“Kita mohonkan kepada Pemerintah Pusat, tolonglah perhatikan Pantai Barat Madina ini”, kata Ramli Lubis. (*)