TAJDID.ID-Medan || Menyikapi persoalan Perlindingan Hak Perempuan dan Anak di Sumatera Utara, khususnya dimasa Covid 19 ini, membuat beberapa LSM dan Pemerhati masalah Hak Anak dan Perempuan yang tergabung dalam Forum LSM/Pemerhati Hak Anak dan perempuan Sumatera Utara (FORMASU), terpanggil untuk menyuarakan dan mendorong agar Pemerintah Propinsi Sumatera Utara kembali lebih memperhatikan prinsip-prinsip Perlindungan Hak Anak dan Perempuan, terutama dalam situasi bencana pandemi Covid 19 ini.
Ketua FORMASU Ariffani SH menyatakan, bahwa wadah ini dibentuk untuk memaksimalkan kembali keterlibatan masyarakat dalam ikut berperan serta berpartisipasi melakukan langkah-langkah Pengawasan dan Perlindungan Hak Anak & Perempuan di Sumatera Utara.
“Bahkan sekarang kita melihat cenderung terjadi degradasi kualitas dan kuantitasnya,” ujarnya usai melakukan diskusi dan audiensi dengan Sekdaprovsu Sabrina di Posko Gugus Tugas Covid 19 Sumut, Rabu (2/9/2020)
Didampingi Sekretaris FORMASU Rafdinal SSos MAP dan sejumlah aktivis lainnya, Ariffani menuturkan beberapa pandangan dan kesimpulan mereka terkait persoalan anak dan perempuan di Sumut.
Pertama, penelantaran dan pelanggaran Hak-hak Anak dan Perempuan di masa Covid 19 ini semakin rentan terjadi, disebabkan semakin rapuhnya kemampuan orantua anak dalam memberikan pemenuhan kebutuhan anak-anaknya.
“Disisi yang lain pemerintah lebih mengedepankan langkah Penanggulangan Corvid 19, dengan pendekatan kesehatan,” sebutnya.
Kedua, tidak adanya rehabilitasi terhadap Korban-korban (baik itu orangtua anak) yang ternyata setelah dilakukan Repid dan Sweb dinyatakan negatif Covid 19. Beberapa kasus terjadi tanpa ada klarifikasi dan rehabilitasi oleh Pemerintah.
“Dengan tidak adanya rehabilitasi atas kasus-kasus tersebut, seorang anak akan terus terstigma bahwa orangtuanya meninggal karena Corvid 19,” kata Ariffani.
Menurut Ariffani, hal itu bisa masuk kategori pelanggaran Hak Azasi Manusia terhadap pasien-pasien yang awalnya dikatakan positif Corvid 19, akan tetapi ternyata setelah keluar hasil RAPID daa/atau PCR nya, ternyata negatif.
“Ini harus menjadi kosern Satuan Tugas dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara,” tegasnya.
Ketiga, persoalan Rapid Test Covid 19 gratis. Ariffani membeberkan, untuk beberapa Rumah Sakit milik Swata menerapkan harga Rapid Test Covid 19 terbilang luar biasa mahal bagi masyarkat, yakni mematok harga mulai dari Rp. 300 ribu hingga Rp. 700 ribu.
Ia menilai, selama pandemi Covid 19 masyarkat cenderung menjadi objek bisnis oleh Rumah Sakit dengan menerapkan harga mencekik leher dan selangit.
“Kelucuan ini semakin berlanjut dengan ada Surat Edaran yang dikeluarkan Pemerintah melalui Menteri Kesehatan c.q. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit P2P Kemenkes, mengeluarkan Surat Edaran HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi pada tanggal 6 Juli 2020 sebesar RP 150.000,” jelasnya.
Secara das sollen, lanjut Ariffani, rapid test merupakan seruan pemerintah dalam kondisi Covid-19, artinya, seruan ini adalah seruan dalam keadaan darurat kebencanaan.
“Seharusnya pemerintah membantu masyarakat agar mengetahui kesehatannya, termasuk juga membantu semua elemen masyarakat, yang hendak melakukan perjalanan jauh menggunakan trasnportasi publik,” katanya.
Keempat, semakin meningkatkan jumlah pekerja anak dan anak yang dieksploitasi sebagai pekerja anak, seperti anak-anak sebagai badut-badut jalanan, anak Jalanan, menjamurnya manusia silver dan telah menimbulkan korban.
“Salah satu contoh, kasus tewasnya Bocah 10 tahun yang sehari-hari mengemis dengan menjadi ‘Manusia Silver’ tewas dilindas truk di depan Toko Sinar Cendana Jalan Amal Kelurahan Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Sumut padan Senin kemarin,” sebut Ariffani.
Kelima, anak-anak miskin yang tidak mampu mengikuti trend kebijakan belajar di rumah (belajar online) karena tidak semua orang tua mampu untuk secara ekonomi membelikan HP dan pulsa bagi anak-anak untuk bisa mengikuti belajar online. Contoh kasus adanya orang tua yang terpaksa mencuri Laptop untuk anaknya.
Keenam, melemahnya partisipasi masyarakat secara institusional/struktural untuk turut bersama-sama pemerintah melakukan Penegakan dan Pengawasan Perlindungan Hak Anak di Sumatera Utara. Sehingga menurut Ariffani, Gubernur Sumatera Utara harus membentuk dan mengaktifkan kembalI Komisi Perlindungan Anak (KPAID) Propinsi Sumatera Utara yang selam ini dibekukan, dengan menunjuk 9 orang Komisioner, yang kemudian di angkat melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara.
Ketujuh, belum kuatnya mainstriming Perlindungan Hak Anak dan Perempuan di dalam Program Penanggulan Covid 19 di Satuan Tugas Covid 19. Hal ini dapat terlihat dengan tidak masuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak c.q Dinas Perempuan dan Anak dalam Struktur Organisasi Satuan Tugas Penaggulangan Covid 19 baik di tingkat Nasional maupun Propinsi dan Kabupaten/kota;
Kedelapan, permasalahan anak-anak yang terinfeksi HIV AID di Sumatera Utara yang saat ini makin meningkat, dimana dari hasil penelitian ditemukan paling tidak ada 100an anak anak yang mengidap HIV AIDS yang tertulas dari orangtuanya di Sumatera Utara.
Kesembilan, salah satu elemen penting lainnya adalah, pentingnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan dukungan kebijakan untuk peningkatan kapasitas manajemen dan pelayanan di LKSA/ Panti Asuhan seperti anggaran yang ditampung di APBD.
Ini sesuai dengan PP No. 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal dan Permensos No. 9 tahun 2018 tentang kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota terhadap LKS
“Atas dasar hal-hal tersebut diatas, maka kami Forum LSM/Pemerhati Hak Anak dan perempuan Sumatera Utara meminta pada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk dapat menerima saran dan pendapat kami, demi Perlindungan dan Penegakan Hak Anak dan Perempuan yang lebih baik di Sumatera Utara,” tutupnya. (*)